Rabu, 21 Mei 2008

Pemerataan dan Kemiskinan .......

Pernahkah kita berpikir bahwa Pemerintah atau Aparat Pemerintah berkontribusi besar dalam persoalan kemiskinan di republik tercinta ini????? Pertanyaan atau pernyataan ini hanya khusus berkaitan dengan kata “Pemerataan” saja dan tidak ada kaitan dengan hal-hal lain. Ini hanya untuk batasan pembahasan selanjutnya.

Pertanyaan atau pun bisa dirubah menjadi kalimat pernyataan ini, berani saya nyatakan bukan hanya asal bunyi atau sekedar ikut trend sekarang yang penting asal bisa kritik pemerintah. Tidak... ini merupakan suatu hasil pengamatan dan pengalaman pribadi selama belasan tahun bekerja sebagai aparatur pemerintah....

Kenapa saya menyatakan Pemerintah atau Aparat Pemerintah? Menurut saya sebenarnya pemerintah dalam kebijakan umum telah menetapkan pola pendekatan yang disebut pertumbuhan untuk pemerataan. Itu berarti secara kebijakan pemerintah tidak salah. Tapi ternyata dalam pelaksanaannya terkesan seolah-olah aspek pertumbuhannya diabaikan dan yang lebih prioritas adalah aspek pemerataannya. Kalau itu terjadi dalam tatanan pelaksanaan maka dapatlah dikatakan itu tergantung dari pelaksananya yaitu Aparat Pemerintah dan karena ini berlaku umum maka terkesan inilah cara kerja pemerintah.

Mulai dari aparat pemerintah pusat sampai ke aparat desa, sama saja.... Bila ada kegiatan pembangunan contoh seperti di sektor pertanian, ada pengembangan ternak kambing 1.000 ekor di tingkat provinsi maka di bagilah kambing ini ke kabupaten memang masih ada pertimbangan potensi dan kecocokan wilayah tapi tidak bisa dialokasikan hanya ke 1 (satu) kabupaten saja tapi harus ke beberapa kabupaten minimal 2 (dua) kabupaten karena takut kalau hanya ke satu kabupaten saja di bilang primordial dari pejabat dinas yang bersangkutan. Selanjutnya, anggap saja di bagi ke dua kabupaten maka masing-masing kabupaten dapat 500 ekor kambing. Kondisi di kabupaten makin parah lagi, paling tidak harus di bagi kedua kecamatan karena paling tidak harus ke daerah asal Bupati atau Wakil Bupati dan satunya lagi ke daerah mayoritas asal anggota DPR kalau tidak wah bahaya jabatan Kadis bisa terancam (Ini hanya ilustrasi kekuatiran dari para pejabat), maka masing-masing dapat 250 ekor, dari kecamatan minimal harus di bagi kedua desa (paling tidak alasannya masih sama tapi mungkin ditambah dengan keinginan Pak Camat untuk membantu keluarganya) berarti masing-masing desa dapat 125 ekor dan selanjutnya dari desa harus dibagi ke beberapa kelompok, misalnya dibagi ke lima kelompok karena dengan pertimbangan bahwa di desa itu kelompoknya ada banyak, kata Pak Kades (padahal hanya alasan Pak Kades saja supaya para pemilihnya atau keluarganya bisa dapat bagian juga), itu berarti satu kelompok dapat 25 ekor kambing. Pemerataan ini belum selesai sampai di kelompok karena di kelompok dibagi lagi, kalau di kelompok itu anggotanya 25 orang maka setiap anggotanya dapat 1 (ekor) kambing. Karena kelompoknya masih baru alias baru dibentuk karena ada pembagian kambing, maka petugas lapangan (PPL) ajar di kelompok ada aturan cara pemeliharaan kambing dan bagaimana cara mengawinkan bahwa penjantannya akan di gilir kemasing-masing anggota, tapi itu hanya tinggal teori saja yang tidak pernah terlaksana. 3 (tiga) bulan kemudian datang pemeriksa, hasil sebagian besar kambing mati karena penyakit atau kambing yang ada mungkin ditunjuk kambing yang di dapat dari instansi lain..... Pertanyaan lain apa benar mati karena sakit atau mati karena disembelih?

Apa yang di dapat dari tujuan program pengembangan 1000 ekor kambing? Tidak ada. Hanya tinggal dokumen bahwa pemerintah telah memberikan bantuan 1000 ekor kambing. Masyarakat atau petani masih tetap begitu saja tidak berubah alias tetap miskin.

Kasus yang sama juga terjadi untuk program yang bertajuk penguatan modal kelompok, program rumah sehat dan lain lain program. Berapa banyak dana yang pemerintah telah investasikan untuk upaya mengentaskan kemiskinan melalui program program tersebut diatas? Dan hasilnya jumlah orang miskin di republik ini makin meningkat dari waktu ke waktu. Bahkan yang paling parah lagi sekarang ini orang bisa demonstrasi, beradu fisik sampai dengan kerugian material yang tidak sedikit karena hanya tidak terdaftar sebagai orang miskin. Ini kah moral bangsa yang sangat beragama?

Hanya karena pemerataan kita tidak bisa keluar dari persoalan kemiskinan. Kekuatan yang begitu besar bisa dari jumlah program dengan dana milyar rupiah bisa sampai di tingkat anggota hanya Rp. 100.000,- saja. Nah dengan dana Rp. 100.000,- itu maka mau dibuat usaha apa?

Berhentilah kita melakukan itu. Rubahlah cara kerja ini. Mulailah dari suatu proses pemberdayaan masyarakat yang benar yaitu penguatan atau peningkatan kapasitas masyarakat, lembaga (kelompok) masyarakat bila mereka telah mempunyai kapasitas yang cukup baru dampingi mereka pinjaman lunak dengan jumlah yang cukup agar mereka dapat mengembangkan skala usaha menjadi lebih besar dan ekonomis. Kemajuan dan keberhasilan usaha mereka akan merupakan peluang penciptaan lapangan kerja baru. Dan jaminan bahwa landasan ekonomi yang kuat adalah ekonomi perdesaan yang berkembang maju dan kuat. Tahun 1997 krisis ekonomi telah membuktikan pernyataan ini.

Pola lain yang dapat di kembangkan adalah kemitraan antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Pemerintah menyediakan modal, pengusaha menyediakan manajemen dan keahlian teknis usaha dan masyarakat menyediakan lahan dan tenaga kerja. Dari pada habiskan uang untuk promosi ke luar daerah dan luar negeri dengan berbagai cara tapi seperti contoh kasus di Nusa Tenggara Timur (NTT) hampir tidak ada atau belum ada investor yang bergerak di sektor pertanian yang tertarik untuk investasi di NTT; Padahal berapa dana pemerintah yang telah dikeluarkan untuk upaya tersebut? Mungkin kalau di pakai untuk pengembangan jeruk Keprok So’E dengan pola kemitraan kita telah berhasil membangun suatu estate jeruk keprok So’E yang sangat luas dan besar di Timor Tengah Selatan.

Berhentilah pemerataan dan prioritaskanlah pertumbuhan. Kalau terus kita melakukan pemerataan berarti kita memang mau dan sadar untuk terus makin memiskinkan masyarakat kita. Inilah yang saya maksudkan bahwa pemerintah atau aparatur pemerintah berkontribusi dalam kemiskinan di republik tercinta ini.

Selasa, 20 Mei 2008

Langkah Awal Menentukan Langkah Selanjutnya

Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) merupakan salah satu kabupaten yang ada di Pulau Timor yang terkenal kering dan gersang...... Selain itu struktur tanahnya lebih banyak batu bertanah daripada tanah dengan solum yang dalam. Belum lagi dengan tingkat kemiringan yang cukup tinggi ditambah dengan sedikitnya tenaga kerja serta tingginya kemiskinan membuat TTU menjadi salah satu kabupaten yang terdaftar dalam Program Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (P2DT) salah satu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri.

Sejak tahun 2001, Kabupaten TTU menjadi salah satu kabupaten pelaksana program PIDRA di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Pelaksanaan Program PIDRA di Kabupaten TTU ini dilakukan secara kemitraan dengan salah satu LSM terkenal di NTT, yaitu Yayasan Mitra Tani Mandiri.

Program ini masuk di 2 (dua) Kecamatan, yaitu Kecamatan Miomafo Timur di 11 Desa dan Kecamatan Insana Utara di 6 (enam) Desa. Di 17 Desa ini masing-masing Desa di tumbuhkan 10 Kelompok Mandiri (KM) secara bertahap selama 3 Tahun dimana tahun I ditumbuhkan 4 KM, tahun II ditumbuhkan 3 KM dan tahun III ditumbuhkan lagi 3 KM sehingga sampai dengan Tahun 2005 telah ditumbuhkan 170 KM yang terdiri dari 92 Kelompok Mandiri Wanita (KMW), 77 Kelompok Mandiri Pria (KMP) dan 1 (satu) Kelompok Mandiri Campuran. Disamping itu sampai dengan Tahun 2007 telah ditumbuhkan 17 Lembaga Pembangunan Desa (LPD) yang bertugas untuk merencanakan, melaksanakan (membangun) dan mengevaluasi Pembangunan Sarana dan Prasarana Umum di Desa serta melakukan konservasi Daerah Aliran Sungai (DAS) Mikro, serta 17 Federasi yang merupakan gabungan dari KM di setiap desa dan 2 (dua) Asosiasi yang merupakan gabungan dari federasi dari setiap kecamatan.

Melalui pendampingan yang ketat oleh 1 (satu) orang Fasilitator LSM di setiap desa dan 1 (satu) orang Penyuluh Pertanian Lapangan di setiap 2 (dua) desa mereka mulai dengan proses pemberdayaan menggunakan 24 modul pendampingan yang diberikan secara bertahap dimana tahun I diberikan 13 modul, tahun II diberikan 8 modul dan tahun ke III diberikan 3 modul. Bersamaan dengan itu juga dilakukan pendampingan teknis terhadap berbagai aktivitas usaha dari masing-masing anggota kelompok untuk difasilitasi kelompok, melaksanakan kegiatan konservasi dengan membuat terasering, menanam tanaman penguat teras dan menanam tanaman produktif di dalam teras, membangunan sarana prasarana umum di desa seperti jalan desa/dusun/usahatani, sarana air bersih (PAH, sumur, perpipaan), embung mini, perlindungan mata air (PMA), pasar desa, rehabilitasi sarana pendidikan/agama, dan perbaikan rumah anggota kelompok.

Setelah 7 (tujuh) tahun pendampingan PIDRA, telah terjadi perubahan yang besar pada masyarakat di 17 desa ini. Kekayaan kelompok sampai dengan saat ini telah mencapai Rp. 2.043.420.050, aktivitas usaha anggota dan usaha kelompok berkembang dengan pesat, hampir seluruh desa telah membangun teras dilahan usaha mereka, pemasaran hasil-hasil usaha anggota dan usaha kelompok secara bersama melalui Federasi dari seluruh desa telah berlangsung dengan baik, sudah dapat dijangkau oleh sarana transportasi umum, tersedianya air bersih yang cukup, pendidikan anak usia sekolah makin meningkat, tidak terjadi rawan pangan di seluruh desa padahal sebelum program PIDRA masuk merupakan desa langganan rawan pangan, peningkatan pendapatan dan aset keluarga, dan yang terpenting hampir semua anggota kelompok sudah berladang menetap (tidak lagi tebas bakar dan ladang berpindah).

Salah satu yang paling menarik di desa-desa PIDRA ini adalah pengembangan teknologi bertani yaitu di sebut olah lubang dan olah jalur. Olah lubang artinya petani menyiapkan lubang pada bulan oktober dengan ukuran 30 x 30 cm untuk tanaman semusim dan 40 x 40 cm untuk tanaman umur panjang Setiap KK anggota KM diwajibkan membuat 700 lubang setiap tahunnya sehingga sampai dengan saat ini telah tersedia 1.962.000 lubang. Sedangkan untuk olah jalur, pada bulan oktober petani mulai mengolah lahan dengan membuat jalur dengan ukuran lubang jalur 30 cm dan jarak antar jalur 1 (satu) meter setiap KK anggota KM diwajibkan membuat 50 meter jalur sehingga sampai saat ini telah 130.800 meter jalur. Di Dalam lubang dan jalur tersebut di isi dengan campuran tanah dengan kompos/pupuk hijau dan pada saat musim hujan atau musim tanam di lubang/jalur tersebut ditanam jagung, kacang2an, umbi2an dan tanaman semusim lainnya. Hasilnya meningkat sampai dengan 100% bila dibandingkan dengan cara bertanam mereka sebelumnya. Kalau teknologi ini terus dikembangkan maka lahan2 yang sebelumnya tidak subur akan menjadi lahan yang subur seluruhnya. Disamping itu hampir seluruh petani di desa PIDRA telah dapat membuat pupuk dan pestisida dari bahan organik.

Sekali lagi dapat kita buktikan bahwa masyarakat miskin tidak lemah.... mereka hanya butuh pendampingan yang ketat....... mereka sebenarnya punya kekuatan yang besar tapi mereka tidak sadar akan itu ........ namun ketika mereka mulai berani dan memutuskan untuk membuat satu langkah pertama ternyata langkah langkah berikut dapat terus mereka laksanakan dan akhirnya mereka dapat mengecap hasil kerjanya.... mereka menjadi tambah sejahtera...... dan mereka masih bisa meneruskan satu langkah pertama untuk aktivitas baru dalam upaya menghadapi tantangan baru.......

Minggu, 18 Mei 2008

Tidak Ada Yang Mustahil


Bila berbicara tentang lahan kering tentu berkaitan dengan ketersediaan air yang terbatas dalam kurun waktu tertentu. Di Nusa Tenggara Timur (NTT) luas lahan pertanian di dominasi oleh lahan kering, luas lahan kering ± 1,5 juta Ha sedangkan luas lahan basahnya hanya 127. 308 Ha. Pada umumnya curah hujan di NTT hanya berlangsung singkat, yaitu 3 – 4 bulan sedang 8 – 9 bulannya kering.

Aktivitas masyarakatnya yang sebagian besar ± 80% adalah petani disesuaikan dengan ketersediaan air. Persiapan lahan berupa pembersihan dan pengolahan tanah dilakukan mulai bulan Oktober sampai dengan akhir bulan November. Penanaman dilakukan pada bulan desember tergantung curah hujan bila hujan mulai turun dan kontinue pada awal bulan desember maka mereka sudah bisa mulai menanam tapi sering juga baru mulai tanam pada awal januari dan baru panen pada bulan maret/april/mei tergantung komoditas yang diusahakan. Setelah periode waktu oktober-mei aktivitas pertanian tanaman semusim telah selesai. Bagi yang punya ternak maka aktivitas usahataninya masih berlanjut. Tapi bagi yang tidak memiliki ternak aktivitas mereka beralih. Ada dua aktivitas utama, yaitu melakukan kegiatan pengumpulan hasil hutan seperti asam, kemiri dll sedangkan aktivitas kedua adalah diluar sektor pertanian seperti buruh, tukang (kayu, batu dll), dan pekerjaan lain yang dapat mereka lakukan. Inilah gambaran aktivitas masyarakat yang tinggal di lahan kering sepanjang satu tahun. Mereka petani dan tergantung pada air.

Namun sejak tahun 2005 pola ini mulai berubah..... Datang dari ide yang sederhana bagaimana mereka bisa menyimpan air hujan yang begitu banyak sehingga mereka dapat memanfaatkannya pada musim kemarau? Untuk diketahui, walaupun waktu hujannya singkat tapi intensitas hujan sangat tinggi dan selama ini hanya terbuang sia sia mengalir ke laut sambil membawa humus dan meninggalkan erosi dan lahan yang semakin tahun semakin tidak subur.

Dari ide sederhana itu dan dipertimbangkan dengan ketersediaan dana yang minim, maka yang bisa dibuat adalah embung dari plastik (terpal). Ini alternatif paling murah yang bisa mereka lakukan. Dan ide ini mulai mereka lakukan pada musim hujan tahun 2005. Hanya bisa mereka buat 3 (tiga) embung plastik. Setelah memasuki musim kemarau, mereka mulai memanfaatkan air tersebut untuk menanam sayur2an disekitar embung plastik. Hasilnya lumayan biasanya pada musim kemarau mereka tidak bisa menanam sayur sekarang bisa. Mereka bisa mengkonsumsinya sendiri dan juga mereka jual. Ada tambahan pendapatan dan juga ada peningkatan gizi keluarga.

Ada hal yang luar biasa, mereka juga mencoba untuk memperhitungkan penggunaan air itu sehingga air itu dapat cukup sampai musim hujan berikutnya. Ini kesadaran yang luar biasa bagi mereka masyarakat sederhana dengan tingkat pendidikan yang rendah. Kenapa bisa begitu? Karena memang mereka sejak tahun 2001 telah didampingi secara ketat untuk peningkatan kapasitas mereka baik individu maupun kelembagaan sehingga kami sadari itu merupakan dampak dari kerja keras kita selama ini...... Keinginan untuk berubah, berpikir untuk dapat memanfaatkan potensi yang mereka punya, keswadayaan yang makin tinggi dan memperhatikan aspek keberlanjutan dalam tatanan aturan yang jelas serta konsisten dalam pelaksanaan aturan........ Ini hasil kerja keras kita.

Dari ide yang sederhana, dari hanya tiga embung plastik, sekarang tahun 2008 telah menjadi ribuaan embung plastik. Pemerintah kabupaten ikut tergerak melihat manfaatnya sehingga pada tahun 2007 memberikan bantuan dana sebesar Rp. 1,3 M untuk pengembangan embung plastik.

Dari Sekedar menampung/menangkap air hujan untuk dimanfaatkan pada musim kemarau berkembang menjadi konsep menjebak air untuk meningkatkan air tanah. Bagaimana? Dari embung plastik yang dibangun, dibawahnya di gali lubang lagi sehingga bila air di embung plastik penuh mengalir kedalam lubang tersebut bahkan bukan hanya satu lubang tapi bisa sampai dua lubang. Mereka yakin bahwa ini akan membantu meningkatkan ketersediaan sumber air pada mata air sumber air bersih mereka.

Bahkan yang tidak pernah diperhitungkan ataupun dibayangkan dapat terjadi. Ada kegiatan pembangunan PUSKESMAS di desa tersebut, kontraktornya membeli air dari mereka. Ini salah satu contoh dari berbagai pemanfaatan air di embung plastik ini.

Sekarang mereka punya air untuk berusaha di musim kemarau, sekarang mereka punya tambahan pendapatan, sekarang mereka dapat meningkatkan gizi keluarga dan sekarang mereka mulai dapat menatap ke hari depan yang lebih baik dan lebih sejahtera.

Sekali lagi.... ini bukti ..... masyarakat miskin tidak lemah.... Mereka mempunyai kekuatan yang begitu besar tapi mereka tidak sadar bahwa mereka punya itu....... Oleh karena itu pendampingan yang kuat akan membuat mereka makin berdaya..... makin yakin ...... bahwa sejahtera itu ..... dapat mereka gapai dengan kekuatan mereka sendiri.

Rabu, 14 Mei 2008

Kenapa Bingung BBM Naik?


Saat ini semua orang kebingungan, kuatir dan ketakutan dengan rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Mulai dari orang kaya sampai dengan orang miskin; mulai dari orang kota sampai ke orang desa; mulai dari pengusaha sampai ke PNS...... semuanya takut.... Berapa penghasilan saya? Berapa kenaikan harga pangan, sandang dll? Bagaimana nasib keluarga saya?... Mungkin seperti itu yang ada dalam banyangannya.......

Tapi ternyata di desa yang sangat terpencil jauh dari keramaian kota, di Desa Nakfunu Kabupaten TTS, Provinsi NTT mereka tidak perlu kuatir tentang akan mahalnya harga BBM. Kenapa...? Bukan hidup mereka sangat tergantung dengan minyak tanah?..........
Disana jauh di pedalaman ....... mereka telah berhasil mengembang Teknologi Biogas......
Mereka sudah mampu merubah kotoran (cirit) Sapi menjadi sumber energi bagi mereka....
Siapa sangka dari cirit sapi yang biasanya hanya dibuang saja atau di pakai sebagai pupuk organik dan bagi sebagian orang lain hal yang menjijikkan ternyata ....... bisa menjadi bahan bakar....

Mujizat.......!!!!!!! Itu satu kata yang bisa keluar dari mulut mereka. Tapi kata ini sangat bermakna karena bagi mereka yang mayoritas Kristen kata itu hanya biasa dipakai di kalangan gereja..........

Sekarang mereka sudah tidak tergantung lagi dengan minyak tanah.......
Sekarang mereka tidak lagi memotong pohon2 di hutan untuk kayu bakar......
Sekarang walaupun mereka orang sederhana dan mereka tidak sadar tapi mereka telah terlibat dalam upaya pengurangan pemanasan global.......

Memulai dari diri sendiri dengan apa yang ada….

Desa Alila Selatan merupakan salah satu Desa yang terletak 22 Km arah utara dari kota Kalabahi, merupakan Desa di pegunungan dengan hasil komoditi perkebunan kemiri, cengkeh dan pinang terbesar. Komoditi ini sangat membantu dalam menopang ekonomi keluarga miskin di Desa tersebut. Akan tetapi hal ini berlangsung musiman dan tidak kontinyu. Menyadari akan hal tersebut sebagai seorang Ketua LPD (Lembaga Pembangunan Desa) yang dipercayakan oleh anggota Kelompok mandiri, Bapak Habel Adang harus menjadi contoh maka mulai dengan menanam tanaman labu jepang yang selama ini di lirik sebelah mata oleh warga sekitar.

Dimulai dengan menanam 3 buah pada bulan Maret lalu, kini telah menjalar memenuhi halaman rumah. Awalnya hasil penen labu jepang untuk konsumsi sendiri di rumah. Dan makanan ternak (Babi), Akan tetapi dengan banyaknya hasil yang dipanen setiap minggunya, membuat Pak Habel memikirkan cara lain yanitu mencoba menjual di pasar local, yang ada setiap hari Rabu. Tanpa disadari ternyata banyak permintaan akan labu jepang tersebut untuk di jual di Kalabahi oleh beberapa pedagang local yang sering berjualan di pasar local Desa.

Hal ini memberi semangat tersendiri maka sejak bulan Juli lalu tiap minggunya Bapak Habel memanen 1 karung dan dijual langsung ke pasar Kalabahi dengan pendapatan rata-rata sekali menjual satu karung Rp. 75.000. Dengan luasan yang sudah memenuhi halaman belakang rumah maka setiap minggunya Pak Habel memanen 2 karung untuk di jual. “ Ternyata ada hasil juga, bisa membantu ekonomi keluarga“ kata Pak Habel membuka cerita sambil duduk di bawah rindangnya para-para dengan rimbunya tanaman labu jepang.

Melihat keberhasilan ini maka para tetangga diam-diam mulai meminta satu dua buah sebagai benih untuk di tanam. Sebelum memberi Pak Habel selalu mewanta-wanti apabila buah labu yang diberikan tidak ditanam maka jangan datang lagi untuk meminta. Rupanya hal ini disadari betul oleh beberapa tetangganya, bahwa labu jepang yang selama ini dikenal hanya sebagai konsumsi sayuran biasa, bisa memberikan nilai tambah, apalagi perawatannya sangat sederhana, dengan mebuat para-para bambu, dimana bambu banyak terdapat di Desa tersebut.

Dari satu tetangga di sebelah rumah pada bulan Juni lalu menanam 2 butir labu jepang, kini sudah 9 rumah tangga di sekitarnya menanam labu jepang dengan membuat para-para yang sanagt apik bila di lihat. Para tetangga mulai merasakan manfaat hasil penjualan ini. Kini mereka tidak harus ke Kalabahi menjualnya, setiap minggu pada hari pasar Desa, maka dengan sendirinya para tengkulak dari Kota sudah mencari di mana mereka harus mendapat labu Jepang.

“ Ini pengalaman pertama saya bagaimana mempengaruhi tetangga sekitar menanam labu jepang. Hasilnya lumayan untuk beli garam dan minyak goreng atau minyak tanah” demikian pak Habel bercerita. “ Saat bulan begini hal yang paling sulit adalah Air, jadi hasil agak sedikit berkurang, tanaman sebagian mulai mongering. Tetapi sekali lagi lumayan sudah memberikan pendapatan selama 3 bulan ini bagi Keluarga saya dan tetangga-tetangga sekitar “ sambil menutup ceritannya dengan sepiring ubi rebus.

Selasa, 13 Mei 2008

Mulai Dari Apa Yang Ada dan Apa Yang Bisa Dibuat

Sejak Tahun 2001, Program PIDRA (Particypatory Integrated Development in Rainfed Areas) salah satu program kerjasama Pemerintah RI dengan IFAD (International Fund for Agriculture Development) mulai di luncurkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) salah satu provinsi pelaksana program selain Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di NTT program in dilaksanakan pada 5 (lima) kabupaten, yaitu : Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Kabupaten Alor, Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Timur. Sampai saat ini program ini telah tersebar di 25 Kecamatan, 94 Desa dan 897 Kelompok Mandiri (KM). Program ini telah berjalan 2 (dua) fase, yaitu : Fase I 2001 -2004 dan Fase II 2005 - 2008. Dalam pelaksanaan program ini dilaksanakan dengan pola kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM), yaitu di Kab. TTS = Yayasan OISCA, Kab. TTU = Yayasan Mitra Tani Mandiri, Kab. Alor = Yayasan Obor Swadaya, Kab Sumba Timur = Yayasan Pahadang Manjoru dan di Kab. Sumba Barat = Yayasan Satu Visi.

Program ini mempersyarakatkan lokasi pelaksanaan harus di Desa Miskin, belum pernah ada program sejenis, lahan kering dan sarana dan prasarana umum terbatas. Hasilnya desa-desa yang terpilih merupakan desa-desa yang sangat terpencil dan sangat sulit untuk mengjangkaunya.

Program PIDRA dilakukan dengan pendekatan : Partisipatif, Fleksibel, Perspektif Jender, Pendampingan LSM, Keberlanjutan dan Desentralisasi.

Program ini dilaksanakan melalui 3 komponen program, yaitu :

A. Komponen Pengembangan Taraf Hidup secara Berkelanjutan

Sub-komp. A: Pemberdayaan Masyarakat dan Kesetaraan Jender

Dengan kegiatan utama : Pengembangan KM, Pengembangan Federasi, Pembentukan dan Penguatan Koperasi, Pengembangan LPD, dan Peningkatan Kesetaraan Gender

- Sub-komp. B: Pengembangan Usaha Mikro =

Sasaran Pelaksana: Individu, KM dan Federasi

Basis usaha: on-, off- maupun non-farm

Strategi Pengembangan Usaha Mikro:

Ø Pengembangan modal

Ø Jejaring bank dan lembaga keuangan

Ø Pengemb. koperasi primer (KM) & sekunder (Federasi)

Ø Pengembangan kapasitas dan manajemen

Ø Dukungan usaha yang telah ada

Ø Jejaring pasar

Sub-komp. C: Pengelolaan SDA yang Berbasis Masyarakat

Konservasi lahan

Pertanian dan Peternakan

Strategi:

Aplikasi demplot, sekolah/temu lapang, studi banding, kaji terap

Pengembangan benih berkualitas

Penyediaan saprodi (obat-obatan, vaksin dan peralatan).

B. Komponen Pembangunan Prasarana Desa =

Perancangan teknis konstruksi fisik

Pembangunan fisik prasarana:

a. air bersih (sumur, PAH dan perpipaan),

b. pasar lokal,

c. balai pertemuan,

d. sarana sekolah

e. kesehatan masyarakat

f. dll.

C. Komponen Pengembangan Kapasitas Kelembagaan dan Manajemen Program =

- Peningkatan kinerja petugas pelaksana program,

- Peningkatan peran Komisi-komisi

- Optimalisasi peran LSM

- Peningkatan SDM (pelatihan, workshop, studi banding, dan pertemuan lainnya).

- Mobilisasi konsultan dan tenaga ahli

- Optimalisasi anggaran dan sarana kerja

- Promosi dan publikasi

- Optimalisasi dukungan Pemerintah daerah

Hasilnya sampai dengan akhir Desember 2007 Dana Umum (Kekayaan) 897 Kelompok Mandiri sebesar Rp. 9.661.881.019,- Berdirinya 94 Lembaga Pembangunan Desa (LPD) yang telah mampu melaksanakan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi secara partisipatif dan mandiri dalam pembangunan sarana prasarana desa seperti jalan desa, penampungan air hujan, sumur gali, embung/cek dam, perlindungan mata air, perpipaan, pasar desa, perbaikan sarana pendidikan, perbaikan sarana keagamaan, pembangunan fisik konservasi, dan pengembangan kebun bibit desa. Dengan hasilnya begitu besar tingkat keswadayaan masyarakat dan hasil yang optimal dalam pemanfaatan serta upaya pemeliharaan demi keberlanjutan fungsi dari sarana prasarana tersebut.

Dan untuk mendukung pengembangan usaha produktif dari individu pelaku usaha dan usaha kelompok maka telah terbangun suatu kelembagaan Federasi yang merupakan penggabungan kekuatan dari kelompok2 mandiri yang ada di satu desa. Kegiatan federasi di dasarkan pada kegiatan utama dan mayoritas yang di lakukan oleh anggota dan kelompok. Kegiatan utama yang telah dilaksanakan oleh Federasi adalah = Keuangan Mikro, Pemasaran Komoditas dan Usaha Jasa. Sampai saat ini sudah terbentuk 91 Federasi.

Gambaran lain yang ada, kondisi desa-desa PIDRA sebelum program ini masuk merupakan desa-desa langganan rawan pangan setiap tahunnya tapi mulai dari tahun 2005 desa-desa PIDRA telah sudah terbebaskan dari masalah rawan pangan. Rumah rumah anggota kelompok sudah lebih layak dan sehat, kepemilikan aset disetiap rumah tangga meningkat setiap tahunnya, pendidikan anak-anak semakin meningkat, peran perempuan dalam masyarakat dan pemerintahan desa makin meningkat, anggota/pengurus banyak yang terpilih menjadi perangkat desa sampai menjadi kepala desa. Desa-desa yang dulunya tidak terjangkau kendaraan umum saat ini telah dijangkau oleh angkutan umum.

Semua ini dapat terjadi hanya oleh karena masyarakat begitu besar partisipasinya dan begitu besar keinginan untuk maju dan berubah. Ini menunjukkan masyarakat miskin tidak lemah, mereka mempunyai kekuatan yang besar tapi kekuatan itu mereka tidak sadari dan oleh karena itu mereka perlu di dampingi.