Senin, 03 November 2008

Ada Apa dengan Jeruk Keprok Soe ?

Jeruk Keprok SoE (JKS), memang jeruk dengan penampilan yang menarik, rasa yang manis, kalau sudah matang antara kulit dan isinya terpisah sehingga mudah dikupas dan dalam setiap kesempatan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTT selalu mengatakan “JKS merupakan Jeruk keprok terbaik didunia”. Sejak Tahun 1990 pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar untuk pengembangan Jeruk Keprok Soe ini, terutama melalui dana APBN Departemen Pertanian yang dikelola oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTT maupun Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi NTT (saat itu) melalui Program Pengembangan Usaha Pertanian (PUP), yaitu selain perluasan dan rehabilitasi JKS yang ada di Timor Tengah Selatan (TTS) maupun pengembangan ke Kabupaten Timor Tengah Utara khususnya daerah Eban.

Tapi ternyata sampai dengan tahun 2008 ini kondisi JKS masih saja sama dengan kondisi tahun-tahun sebelum 1990 bahkan ada kecenderungan penurunan kualitas. Dari segi ketersediaan atau produksi masih saja tetap sama yaitu mulai bulan Maret – Agustus setiap tahunnya (mulai berbunga bulan Nopember – Desember). Harganya semakin lama semakin mahal ditingkat penjual eceran untuk kualitas grade A harga 1 kg (3-4 buah) bisa mencapai Rp. 20.000,- Bahkan di Soe khususnya pedagang eceran harga per kumpul (dicampur-campur kualitasnya 3-5 buah ) bisa mencapai harga Rp. 20.000,- itu berarti lebih mahal dari harga di tingkat pedagang eceran di Kupang. Sampai saat ini juga belum pernah saya temukan JKS ada tersedia di Supermarket- Supermarket maupun di Mall yang ada di Kota Kupang. Padahal kebutuhan akan JKS ini begitu tinggi di Kota Kupang namun belum bisa terpenuhi apalagi mau menjawab permintaan dari Luar NTT? Ada apa dengan JKS ini?

Dari penelusuran data yang ada dari berbagai pihak dapat digambarkan kondisi umum petani JKS; Petani JKS masih memelihara dan memasarkan JKS secara tradisional atau sedeharna. Dalam pemeliharaan JKS walaupun selama ini telah banyak pelatihan teknis dan input teknologi namum pemeliharaannya masih hanya sebatas pembersihan dan juga sedikit pengapuran sedangkan untuk pemangkasan bentuk dan pemangkasan produktif sangat kecil prosentase petani yang melakukannya, pemupukan lebih banyak pemberian pupuk kandang sedangkan untuk aplikasi zat perangsang belum pernah ditemukan kecuali kalau ada proyek dari dinas/instansi teknis yang menyangkut penerapan zat perangsang tumbuh. Sedangkan untuk penanaman baru baik itu sebagai pengembangan atau sebagai bagian dari pemeliharaan (regenerasi pohon tua) sangat kecil dan lebih banyak terjadi adalah intervensi dari proyek-proyek dari dinas/instansi teknis, namun hasilnya pertambahan populasinya masih sangat kecil. Masalahnya menurut saya ada banyak faktor yang berpengaruh dan itu perlu pendalaman khusus. Sedangkan pada aspek pemasaran, memang benar-benar masih sederhana, yaitu dengan cara penjualan ijon yaitu JKS yang sudah mulai berbunga mulai di tawar oleh pihak pembeli dan kebiasaan sampai dengan saat ini adalah harga satu pohon hanya berkisar Rp. 150.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- dan setelah transaksi maka pohon tersebut menjadi milik pembeli secara penuh sampai dengan produksi JKS tersebut selesai namun pemeliharaan tetap menjadi tanggung jawab petani JKS tersebut. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTT satu pohon jeruk itu mempunyai kemampuan produksi atau menghasilkan jeruk sebanyak 2.000 - 3.000 buah selama satu musim Pohon umur 10 tahun) sedangkan yang baru pertama kali berbuah produksinya 500 – 1.000 buah/pohon. 3.000 buah ini bila diklasifikasi berdasarkan mutu buah bisa ada empat kelas (A,B,C,D) dan jeruk dengan klasifikasi A harganya Rp.20.000/Kg (3-4 buah) sedangkan harga termurah atau klasifikasi D adalah Rp. 7.000,- sampai dengan Rp. 8.000,- bila kita asumsikan bahwa grade A itu ada 40%, grade B ada 30%, grade C ada 20% dan grade C hanya 10% maka kita bisa menghitung berapa keuntungan dari pedagang perantara dan betapa tidak adilnya harga yang diterima oleh si petani JKS. Ini suatu kondisi ketidakadilan yang dialami oleh petani JKS selama berpuluh-puluh tahun namun tidak mendapat perhatian dan solusi yang tegas dari pemerintah dan ironisnya pemerintah melalui dinas/instansi teknis masih saja tetap berkonsentrasi pada aspek teknis. Ini merupakan salah satu faktor JKS tidak bisa berkembang dan meningkat produksinya. Bagi petani JKS harga Rp. 150.000,-/pohon bukan merupakan sesuatu hasil yang menarik untuk menjadikan jeruk sebagai prioritas utama sumber pendapatan keluarga atau untuk peningkatan kesejahteraannya. Dan ini merupakan demotivasi bagi petani JKS untuk lebih serius dalam pengembangan JKS.

Untuk itu saya ingin menarwarkan suatu solusi agar permasalahan ketidakadilan pendapatan petani JKS dapat teratasi. Pola yang ingin saya tawarkan ini bukan merupakan pola baru tapi adopsi dari pola LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan) Gabah/Beras namun penerapannya dimodifikasi. Permasalahan di JKS yang ingin difokus adalah rendahnya harga jual per pohon JKS sedang tambahan teknologi yang perlu diberikan adalah sortasi dan pengemasan karena kebutuhan akan JKS begitu tinggi baik lokal, regional, nasional maupun dunia dan harga yang terjadi dipasaran juga sangat menguntungkan. Sehingga pola penanganannya adalah pemerintah menyediakan dana talangan (modal awal) untuk asosiasi atau kelompok tani atau gabungan kelompok tani untuk membeli dengan menggunakan cara yang sama yaitu pembelian per pohon tapi harga belinya yang ditingkatkan misalnya sekarang harga beli di tingkat petani hanya Rp. 150.000 – Rp. 200.000/pohon maka dengan pola ini jeruk dibeli dengan harga Rp. 500.000/pohon maka itu berarti ada penambahan pendapatan Rp. 300.000 – Rp.350.000/pohon dan angka penambahan ini saya yakin akan menjadi motivasi baru bagi petani untuk lebih memelihara, meningkatakan produksi, dan bahkan mengembangkan tanaman baru baik untuk menggantikan pohon yang sudah tua (kurang produktif lagi) atau juga untuk penambahan jumlah pohon baru. Kenapa saya begitu yakin karena pendapatan yang besar dari JKS ini akan membuat petani menjadikan JKS menjadi prioritas utama dalam pendapatan keluarga untuk peningkatan kesejahteraan keluarganya. Menyangkut teknologi sebenarnya mereka sudah menguasai tapi belum diterapkan karena kecilnya pendapatan mereka. Selanjutnya asosiasi/kelompoktani/gabungan kelompok tani melakukan proses sortasi dan pengemasan untuk lebih meningkatkan daya tarik JKS yang memang sudah terkenal itu dan selanjutnya memasarkan ke berbagai pasar di kupang atau bahkan juga memasarkan ke Surabaya atau Jakarta atau Bali untuk lebih memperkenalkan JKS keluar daerah.

Melalui pola ini pemerintah tidak akan rugi karena dengan sistem ini dana yang disediakan pemerintah tersebut akan dikembalikan pada akhir tahun berjalan (Desember) secara utuh dan kalau perlu ada sedikit bunga namun saya merasa itu tidak terlalu penting (maksud saya bunganya) karena menurut saya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi didaerah yang harus didorong adalah peningkatan pendapatan asli rakyat dibanding peningkatan pendapatan asli daerah. Setiap peningkatan pendapatan dan perubahan kesejahteraan ditingkat masyarakat akan memberikan efek yang besar pada berbagai kegiatan ekonomi lainnya dan juga akan meningkatkan kepatuhan masyarakat untuk membayar kewajiban-kewajibannya antara lain seperti Pajak Bumi dan Bangunan serta kewajiban lainnya.

Pola ini dapat juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga lain yang mempunyai visi untuk pemberdayaan masyarakat khususnya pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk menuju pengembangan agribisnis di NTT namun tidak mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena pola ini diawali dengan menggunakan cara yang sederhana yang dipahami oleh masyarakat (penjualan per pohon) tapi harus terus dikembangkan sehingga pada suatu waktu nanti bukan lagi penjualan per pohon tapi sudah penjualan per kilogram, kemudian proses sortasi dan bahkan proses pengemasan juga sudah bisa diserahkan untuk di tangani mereka sehingga nilai tambah dari setiap proses itu bisa mereka nikmati juga. Sedangkan pihak ketiga masih dapat terus mengembangkan perannya sehingga keuntungan juga tetap dinikmatinya untuk mendukung keberlanjutan program dari lembaga tersebut.

Mudah-mudahan tulisan yang sederhana ini bisa menjadi masukan bagi pemerintah dan para pihak lainnya sehingga dapat terlaksana demi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan untuk menuju NTT Baru yang lebih sejahtera.

Tidak ada komentar: