Selasa, 25 November 2008

Refleksi Dari Membangun Kebersamaan

Tidak terasa kita akan mengakhiri tahun 2008 ini. Saya yakin bahwa setiap waktu atau kurun waktu mempunyai makna bagi setiap orang, apakah makna yang menggembirakan atau sukacita maupun makna yang menyedihkan dan kurun waktu itu akan menjadi landasan kita dalam upaya berbuat dan berkarya lebih baik lagi bagi masa atau waktu mendatang............

Bagi Saya dan mungkin seluruh pelaksana program PIDRA beserta stakeholders lainnya tahun 2008 ini mempunyai makna yang sangat penting dan strategis. Kenapa? Tahun 2008 ini merupakan tahun terakhir dari waktu pendampingan program PIDRA dalam membangun kapasitas masyarakat dan kelembagaan masyarakat miskin bahkan sangat miskin di pedesaan terpencil, kering dan terbatas sarana prasarananya. Delapan tahun sudah kita bekerja bersama-sama dan bekerjasama untuk mencapai Visi Program: Peningkatan taraf hidup masyarakat miskin secara berkelanjutan pada wilayah lahan kering di Provinsi Jawa Timur, NTB dan NTT; Misi Program: Mewujudkan kondisi yang mendukung peningkatan taraf hidup dan kemampuan keluarga miskin dalam merealisasikan kegiatan untuk peningkatan pendapatan serta lingkungan sumber daya alam secara berkelanjutan. Untuk tercapainya visi dan misi program, program PIDRA menggunakan pendekatan program, yaitu : Partisipatif, Fleksibel, Perspektif Jender, Pendampingan LSM, Keberlanjutan dan Desentralisasi. Target atau sasaran dari program PIDRA adalah, Tiga propinsi (Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, 14 kabupaten (Kab. Pacitan, Kab. Ponorogo, Kab, Trenggalek, Kab. Tulungagung, Kab. Blitar, Kab. Lumajang, Kab. Sumbawa, Kab. Dompu, Kab. Bimas, Kab. TTS, Kab. TTU, Kab. Alor, Kab. Sumba Timur dan Kab. Sumba Barat), 237 desa, 2.370 Kelompok Mandiri, 100 Federasi, 237 Lembaga Pembangunan Desa dan 100.000 Kepala Keluarga.

Pelaksanaan Program PIDRA ini dimulai tahun 2001 tapi persiapan pelaksanaan program ini dimulai dari tahun 1997 pada waktu terjadi krisis ekonomi nasional dan dunia sampai dengan penandatangan Loan Agreement pada tahun 2000. Memang bukan waktu yang panjang untuk suatu pekerjaan besar dengan tujuan yang mulia namun secara manusia 1997 – 2008 merupakan suatu jangka waktu kerja yang panjang dengan penuh perjuangan, kerja keras, pengorbanan materil, moril bahkan pengorbanan jiwa dan raga (ada beberapa orang pelaksana program yang meninggal dunia pada waktu menjalan tugas program PIDRA).

Hasilnya khusus di NTT pada 5 kabupaten (TTS, TTU, Alor, Sumba Timur dan Sumba Barat) dan 94 desa telah berhasil ditumbuhkan bersama-sama dengan masyarakat 897 kelompok mandiri hasil dan dari hasil penilaian terakhir (triwulan III tahun 2008) ada 90 % masuk kategori Sangat baik dan baik (menuju kemandirian dan keberlanjutan), 8 % masuk kategori sedang (masih perlu didampingi untuk mandiri dan berkelanjutan) dan 2 % masih pada kategori kurang (masih perlu pendampingan dalam kurun waktu yang panjang untuk menuju kemandirian dan berkelanjutan). Kekayaan seluruh kelompok mandiri program sebesar Rp. 14 Milyar dengan berbagai usaha produktif baik perorangan maupun kelompok. Untuk meningkatkan daya saing, posisi tawar dan memperkuat usaha maka kelompok mandiri di setiap desa telah membentuk suatu gabungan kelompok yang disebut Federasi. Sampai saat ini sudah ada 94 Federasi dengan kekayaan seluruh Federasi adalah Rp. 2 Milyar dengan aktivitas utama adalah pemasaran hasil bersama, simpan pinjam dan waserda. Sedangkan khusus untuk menangani perencanaan, pembangunan, evaluasi dan pemeliharaan sarana prasana umum tingkat pedesaan dan konservasi sumberdaya alam telah terbentuk 94 Lembaga Pembangunan Desa (LPD) yang telah berhasil membangunan berbagai sarana prasarana umum tingkat desa seperti jalan desa, PAH, Perpipaan, Pemeliharaan Mata Air, pasar desa, perbaikan (sekolah, tempat ibadah, puskesma dan posyandu), embung-embung mini, biogas, terasering, kebun bibit desa, penanaman tanaman keras, dan lain-lain. Melalui LPD ini juga telah berhasil dirumuskan Rencana Strategis (renstra) pengelolaan sumberdaya alam bahkan ada yang telah ditetapkan dalam bentuk peraturan desa. Secara singkat telah terjadi perubahan yang begitu besar dan mendasar baik yang bersifat perilaku, polapikir, kepercayaan diri, kepemilikan asset, pengelolaan sumberdaya alam yang semakin baik, berkembangnya berbagai usaha produktif, peranserta dalam pemerintahan desa, serta perubahan-perubahan lain di bidang pendidikan, kesehatan dan juga yang terutama adalah perubahan dari desa yang rawan pangan menjadi desa yang tidak pernah rawan pangan lagi. Beberapa model yang sudah mulai di replikasi oleh pihak lain seperti model pemasaran bersama, model pengelolaan sumberdaya alam, dan model pengembangan ketahanan pangan berbasis masyarakat. Disamping itu kelompok mandiri, federasi dan LPD juga telah dimanfaatkan oleh berbagai institusi lain untuk melaksanakan program dan kegiatan mereka.

Apa yang saya tulis diatas hanya merupakan gambaran umum keberhasilan program, masih banyak persoalan dan masalah yang dihadapi oleh pelaksana program bersama, kelompok mandiri, federasi dan LPD yang masih harus kita hadapi terutama setelah program ini selesai 31 Desember 2008 ini. Gambaran keberhasilan diatas hanya sebagai gambaran atas suatu hasil kerja bersama baik itu dari pihak pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa maupun dari pihak LSM baik ditingkat Pusat, Provinsi, kabupaten dan desa.

Keberhasilan ini bukan merupakan keberhasilan dari para pelaksana program di fase II ini saja tapi ini merupakan akumulasi hasil kerja mulai dari tahun pertama (2001) waktu itu ditingkat Provinsi NTT ada LSM Utama yaitu Yayasan Bina Swadaya Jakarta dengan personilnya ada Pak Yoseph Fola, Ibu Irawati, Ibu Nursulystiati ( Lilis), Pak Agung, Ibu Christiana, Pak Da Costa, Ibu Ody sedangkan di tingkat kabupaten khusus yang berubah yaitu LSMP Sumba Barat, Yayasan Wahana Komunikasi Wanita Ibu Wiyati yang pada fase kedua diganti oleh Yayasan Satu Visi bersama LSM Oisca di TTS, Mitra Tani Mandiri di TTU, Obor Swadaya di Alor dan untuk Sumba Timur Yayasan Ie Hari Pak Wilem Dere yang pada fase ke dua diganti oleh Yayasan Pahadang Manjoru. Begitu pula di tingkat Sekretariat Provinsi NTT maupun tingkat kabupaten yang para pelaksananya banyak yang telah menjadi pejabat-pejabat penting di tingkat Provinsi maupun kabupaten. Kami semua memulai dari Nol menjalankan program ini dengan berlandaskan pada Staf Apraisal Report (SAR) dan berbagai pelatihan serta kemampuan dan keahlian dari kawan-kawan LSM bersama-sama kita melaksanakan program ini. Berbagai benturan karena perbedaan pemahaman, latar belakang (pemerintah dan LSM), ego dari masing-masing lembaga seperti pola yang biasa digunakannya lebih baik dan tepat dari pada pola yang disarankan oleh lembaga lain, perbedaan-perbedaan konsep pribadi dari para ahli/konsultan dan benturan-benturan lainnya sehingga perlu waktu yang cukup panjang kurang lebih 3 tahun (2001 – 2003) baru bisa terjadi kesamaan persepsi, kebersamaan, harmonisasi, dan team work makin solid, namun sayang fase I hanya tinggal 1 tahun (2004) dan hasil rewiev IFAD merubah struktur organisasi pelaksana dimana LSM Utama yang ada di masing-masing provinsi di hilangkan dan diganti dengan LSM Nasional dan menempatkan tenaga ahli dari LSMN di masing-masing provinsi. Namun sebenarnya pola ini baru berjalan pada tahun pertengahan 2006 sehingga selama tahun 2005 praktis pendampingan LSM kurang tapi ini juga suatu berkat tersendiri karena pengalaman ini menunjukkan bahwa Relawan desa (VCO), LSMP dengan kemampuan terbatas, kelompok-kelompok mandiri bersama Sekretariat PIDRA mampu terus berjalan dan tidak sampai mati atau bubar.

Membangun kebersamaan itu ternyata tidak mudah apalagi kebersamaan antara pemerintah dengan LSM. Namun kami para pelaksana program PIDRA fase I telah berhasil membangun kebersamaan itu dan ini merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi kami semua.

Keberhasilan sekarang (Fase II) bukan semata-mata merupakan kekuatan, kemampuan dan kehebatan para pelaksana program pada fase II tapi sebenarnya juga karena kontribusi yang sangat besar dari pelaksana program di fase I yang telah meletakkan dasar dan mengembangkan program ini. Untuk itu secara pribadi tulisan ini sebenarnya ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan saya kepada para pelaksana program baik di Sekretariat Program PIDRA (Unsur Pemerintah) maupun di LSM mulai dari Pusat sampai ke para pendamping lapangan di tingkat desa, tanpa kontribusi kawan-kawan semua tidak mungkin akan memberikan hasil seperti saat ini. Besar harapan saya kawan-kawan pada fase I mau memberikan sumbangan tulisan pengalaman selama bekerja pada program PIDRA fase I terutama kepada kawan-kawan di Bina Swadaya mudah-mudahan maupun menyumbangkan tulisan tentang kajian pemberdayaan masyarakat miskin dengan pola PIDRA selama 4 tahun kita bermitra di NTT.

Akhirnya, jasa dan pengabdian dari kawan-kawan semua tidak bisa kami balas secara langsung namun kami yakin dan percaya bahwa Tuhan Yang Maha Esa akan membalas budi dan jasa kawan-kawan dalam karya dan kehidupan kawan-kawan beserta keluarga. Saya punya kerinduan dengan kawan-kawan semua sehingga kalau berkenan bagaimana kita buat paguyuban PIDRA? Mungkin paguyuban ini bisa menyumbangkan sesuatu bagi pemberdayaan masyarakat miskin di NTT. Saya tunggu respon kawan-kawan semua.

Senin, 17 November 2008

Membangun Ekonomi Pedesaan

Mungkin judul ini terlalu besar dan luas maknanya untuk apa yang saya tulis ini, tapi yang ingin saya kemukakan dalam tulisan ini adalah Bagaimana masyarakat miskin yang telah diberdayakan mampu untuk kembali menghidupkan dan mengelola dengan baik gedung koperasi unit desa yang tidak berfungsi selama ini.
Ini adalah cerita tentang suatu Federasi yaitu gabungan dari beberapa kelompok yang ada di suatu desa yang selama ini didampingi oleh Program PIDRA, mereka bergabung dengan maksud untuk menyatukan kekuatan dari kelompok-kelompok mereka untuk membuat aktivitas usaha yang lebih besar dan lebih kuat lagi dalam rangka mendukung berbagai aktivitas usaha anggota kelompok dan usaha kelompok mereka. Biasanya Federasi ini bergerak di bidang Pemasaran Bersama hasil usaha anggota dan kelompok, Simpan Pinjam (keuangan mikro), dan juga usaha penjualan sembako yang sifatnya grosiran bagi para anggota kelompok yang membuka usaha kios.
Federasi MATAWAI PARADANG (mata air yang terawat) di Desa Rambangaru Kecamatan Hahar Kabupaten Sumba Timur Provinsi NTT. Federasi ini terbentuk pada tanggal 23 Mei 2008 yang beranggotakan 7 Kelompok Mandiri Program PIDRA di desa tersebut. Ketua Federasi ini bernama Ibu Ngana Edju. Dari Rapat seluruh pengurus dan anggota federasi ini, mereka memutuskan untuk mulai dengan kegiatan perkiosan dengan maksud untuk dapat membantu melayani anggota yang mempunyai usaha kios sehingga mereka tidak perlu membeli barang-barang jualan mereka dari agen/distributor yang berada jauh di Ibukota kabupaten (kota Waingapu) dan juga untuk melayani warga lain disekitarnya. Setelah berjalan sebulan, usaha mereka mulai menampakkan hasil yang menggembirakan dan mereka berniat untuk mengembangkan lagi namun mereka terkendala dengan tempat usaha yang layak dan strategis. Di desa mereka ada sebuah Gedung KUD yang telah lama tidak berfungsi lagi (dari tahun 1990), untuk itu melalui pendamping lapangan dan di dukung oleh Kepala Desa serta Camat setempat mereka mengajukan surat pinjam pakai Gedung KUD tersebut ke Dinas Koperasi Kabupaten Sumba Timur. Surat ini ditanggapi positif oleh Kepala Dinas Koperasi Kabupaten dan menyetujui untuk dipinjam gedung dan seluruh asset yang ada didalamnya.
Mulailah Federasi ini membuka usaha di gedung KUD tersebut dan dari waktu ke waktu usaha mereka makin berkembang. Dalam kunjungan saya bersama Koordinator PIDRA Nasional, Ir. Djadi Purnomo, MM pada tanggal 22 Oktober 2008 kami mendapatkan hal-hal yang luar biasa tentang gambaran usaha dari federasi tersebut melalui buku-buku keuangannya, seperti omzet hariannya mencapai rata-rata Rp 2 juta per hari dan setiap 3-4 hari mereka mengeluarkan dana Rp. 7 - 9 Juta untuk mengisi kembali stok barangnya. Mereka telah mampu membiayai satu orang pegawai tetap dan mereka merencanakan untuk terus mengembangkan jenis-jenis barang yang akan dijual, bahkan mereka mempunyai potensi untuk menjadi pangkalan minyak tanah serta mengembangkan usaha untuk menjual pulsa (voucher) dari beberapa provider telepon genggam (HP) yang telah beroperasi di wilayah tersebut. Selama kami berada di federasi tersebut terlihat para pembeli begitu ramai datang berbelanja disitu. Mereka telah mampu berkontribusi dalam upaya mengembangkan perekonomian di desanya.
Sekali lagi mereka masyarakat miskin yang selama ini tidak diperhitungkan di desanya telah mampu menunjukkan bahwa selama ada daya upaya, bersatu padu dan dikelola dengan baik mampu untuk berbuat sesuatu yang besar. Gedung KUD yang selama ini mubazir telah mampu mereka hidupkan/manfaatkan kembali. Mereka makin memandang sinar terang masa depan yang lebih baik lagi. Maju terus Federasi Matawai Paradang jadilah mata air yang selalu terawat untuk memberikan kehidupan dan kesejukan bagi setiap orang yang memerlukanmu.

Kamis, 06 November 2008

Keanekaragaman Budaya dan Makanan

(PIKIRAN,IDE DAN GAGASAN)
Oleh :
Ir. Beny. Ulu Meak
Kepala Seksi Penyuluhan Pertanian Dan Informasi Pangan
Kantor Penyuluhan Pertanian dan Bimas Ketahanan Pangan-Kab.TTU


I. PENDAHULUAN

Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan latar belakang etnis, suku dan tata kehidupan sosial yang berbeda satu dengan yang lain. Hal ini telah memberikan suatu formulasi struktur sosial masyarakat yang turut mempengaruhi menu makanan maupun pola makan. Banyak sekali penemuan para ahli sosialog dan ahli gizi menyatakan bahwa faktor budaya sangat berperan terhadap proses terjadinya kebiasaan makan dan bentuk makanan itu sendiri, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai masalah gizi apabila faktor makanan itu tidak diperhatikan secara baik oleh kita yang mengkonsumsinya.
Kecendrungan lain yang muncul dari suatu budaya terhadap makanan sangat tergantung dari potensi alamnya atau faktor pertanian yang dominan. Sebagai contoh : bahwa orang Jawa makanan pokoknya akan berbeda dengan orang Timor atau pendek kata bahwa setiap suku-etnis yang ada pasti mempunyai makanan pokoknya tersediri. Keragaman dan keunikan budaya yang dimiliki oleh suatu entitas masyarakat tertentu merupakan wujud dari gagasan, rasa, tindakan dan karya sangat menjiwai aktivitas keseharian baik itu dalam tatanan sosial, teknis maupun ekonomi telah turut membentuk karakter fisik makanan (menu,pola dan bahan dasar).

II. POLA BUDAYA TERHADAP MAKANAN

Kebudayaan adalah seluruh sistim gagasan dan ras, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar (Koentjaraningrat,1990). Selanjutnya dikatakan juga bahwa wujud dari budaya atau kebudayaan dapat berupa benda-benda fisik, sistim tingkah laku dan tindakan yang terpola/sistim sosial, sistim gagasan atau adat-istiadat serta kepribadian atau nilai-nilai budaya. Berdasarkan atas batasan demikian maka dapat dikatakan bahwa makanan atau kebiasaan makan merupakan suatu produk budaya yang berhubungan dengan sistim tingkah laku dan tindakan yang terpola (sistim sosial) dari suatu komonitas masyarakat tertentu. Sedangkan makanan yang merupakan produk pangan sangat tergantung dari faktor pertanian di daerah tersebut dan merupakan produk dari budaya juga. Dengan demikian pengaruh budaya terhadap pangan atau makanan sangat tergantung kepada sistim sosial kemasyarakatan dan merupakan hak asasi yang paling dasar, maka pangan/makanan harus berada di dalam kendali kebudayaan itu sendiri.
Beberapa pengaruh budaya terhadap pangan/makanan adalah :
a. Adanya bermacam jenis menu makanan dari setiap komunitas – etnis masyarakat dalam mengolah suatu jenis hidangan makanan karena perbedaan bahan dasar/adonan dalam proses pembuatan; contoh : orang Jawa ada jenis menu makanan berasal dari kedele, orang Timor jenis menu makanan lebih banyak berasal dari jagung dan orang Ambon jenis menu makanan berasal dari sagu.
b. Adanya perbedaan pola makan/konsumsi/makanan pokok dari setiap suku-etnis ; Contoh : orang Timor pola makan lebih kepada jagung, orang Jawa pola makan lebih kepada beras.
c. Adanya perbedaan cita - rasa, aroma, warna dan bentuk fisik makanan dari setiap suku-etnis; Contoh : makanan orang Padang cita - rasanya pedis, orang Jawa makananya manis dan orang Timor makanannya selalu yang asin.
d. Adanya bermacam jenis nama dari makanan tersebut atau makanan khas berbeda untuk setiap daerah; Contoh : Soto Makasar berasal dari daerah Makasar- Sulawesi Selatan, Jagung ”Bose” dari daerah Timor-Nusa Tenggara Timur.

III. SISTIM BUDAYA TERHADAP MAKANAN

Berbagai sistim budaya memberikan peranan dan nilai yang berbeda-beda terhadap makanan, misalnya bahan-bahan makanan tertentu oleh suatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu atau bersifat pantangan untuk dikonsumsi karena alasasan sakral tertentu atau sistim budaya yang terkait di dalamnya. Disamping itu ada jenis makanan tertentu yang di nilai dari segi ekonomi maupun sosial sangat tinggi eksistensinya tetapi karena mempunyai peranan yang penting dalam hidangan makanan pada sesuatu perayaan yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tertentu maka hidangan makanan itu tidak diperbolehkan untuk dikonsumsinya bagi golongan masyarakat tersebut.
Anggapan lain yang muncul dari sistim budaya seperti dalam mengkonsumsi hidangan makanan di dalam keluarga, biasanya sang ayah sebagai kepala keluarga akan diprioritaskan mengkonsumsi lebih banyak dan pada bagian-bagian makanan yang mengandung nilai cita rasa tinggi. Sedangkan anggota keluarga lainnya seperti sang ibu dan anak-anak mengkonsumsi pada bagian-bagian hidangan makanan yang secara cita-rasa maupun fisiknya rendah. Sebagai contoh pada sistim budaya masyarakat di Timor yaitu : apabila dihidangkan makanan daging ayam, maka sang ayah akan mendapat bagian paha atau dada sedangkan sang ibu dan anak-anak akan mendapat bagian sayap atau lainnya. Hal ini menurut (Suhardjo, 1996) dapat menimbulkan distribusi konsumsi pangan yang tidak baik atau maldistribution diantara keluarga apalagi pengetahuan gizi belum dipahami oleh keluarga.
Kasus lain yang berhubungan dengan sistim budaya adalah sering terjadi juga pada masyarakat di perkotaan yang mempunyai gaya hidup budaya dengan tingkat kesibukan yang tinggi karena alasan pekerjaan. Contohnya; pada ibu-ibu di daerah perkotaan yang kurang dan tidak sering menyusui bayinya dengan Air Susu Ibu (ASI) setelah melahirkan tetapi hanya diberikan formula susu bayi instant. Padahal kita tahu bahwa ASI sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik bayi. Selanjutnya gaya hidup mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas (masyarakat elite kota) ,dalam hal makanan sering mengkonsumsi makanan yang berasal dari produk luar negeri atau makanan instant lainnya karena soal “gengsi” . Sedangkan makanan lokal kita hanya dikonsumsi oleh mereka yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke bawah karena ada anggapan bahwa makanan dari luar negeri kaya akan nilai gizi protein dan makanan instant lebih praktis untuk dikonsumsi sedangkan makanan lokal kita nilai gizinya lebih kepada karbohidrat. Sehubungan dengan soal gengsi maka ada kebiasaan masyarakat di Timor jika ada kunjungan tamu ke rumahnya maka tamu tersebut selalu di hidangkan dengan makanan yang berasal dari beras walaupun kesehariannya mereka selalu mengkonsumsi jagung, ubi kayu/singkong dan makanan lokal lainnya sehingga beras atau nasi telah dianggap sebagai suatu citra bahan makanan yang mempunyai nilai “prestise” yang tinggi. Citra beras/nasi dibangun sebegitu kuatnya oleh masyarakat di Timor sehingga kondisi ini telah mempengaruhi sendi-sendi sosial budaya sedangkan pandangan mereka terhadap pangan di luar beras di tempatkan sebagai simbol lapisan masyarakat paling rendah.

IV. MASALAH BUDAYA DAN MAKANAN TERHADAP GIZI

Mencermati akan adanya budaya, kebiasaan dan sistim sosial masyarakat terhadap makanan seperti pola makan, tabu atau pantangan, gaya hidup, gengsi dalam mengkonsumsi jenis bahan makanan tertentu, ataupun prestise dari bahan makanan tersebut yang sering terjadi di kalangan masyarakat apabila keadaan tersebut berlangsung lama dan mereka juga belum memahami secara baik tentang pentingnya faktor gizi dalam mengkonsumsi makanan maka tidak mungkin dapat berakibat timbulnya masalah gizi atau gizi salah (Malnutrition). Lebih lanjut dijelaskan oleh Suhardjo, 1996 bahwa jika kalangan masyarakat yang terkena danpak dari sistim sosial atau budaya makan itu berasal dari golongan individu –individu yang termasuk rawan gizi seperti ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak balita serta orang lanjut usia maka kondisi ini akan lebih rentant terhadap timbulnya masalah gizi kurang.
Gizi salah (Malnutrition) dapat didefenisikan sebagai keadaan sakit atau penyakit yang disebabkan oleh kekurangan relative atau mutlak dan kelebihan satu atau lebih zat-zat makanan esensial yang berguna dalam tubuh manusia. Menurut bentuknya, gizi salah diklasifikasikan oleh (Barba dkk, 1991) sebagai berikut :
1. Gizi kurang (undernutrition), kondisi ini sebagai akibat dari konsumsi makanan yang tidak memadai jumlahnya pada kurun waktu cukup lama. Contoh : Kekurangan Energi Protein (KEP) dapat menyebabkan penyakit marasmus dan kwashiorkor.
2. Gizi lebih (Overnutrition), keadaan ini diakibatkan oleh konsumsi makanan yang berlebihan untuk jangka waktu yang cukup lama. Contoh : kegemukan;
3. Kurang Gizi spesifik (Specific Deficiency): keadaan ini disebabkan oleh kekurangan relative atau mutlak pada zat-zat makanan tertentu. Contohnya : kekurangan vitamin A yang dapat menyebabkan penyakit xeropthalmia dan Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) yang dapat menyebabkan penyakit gondok;
4. Gizi tak seimbang (inbalance): Kondisi yang merupakan akibat dari tidak seimbangnya jumlah antara zat-zat makanan esensial, dengan atau tanpa kekurangan zat makanan tertentu. Contoh ; gangguan keseimbangan tubuh,sering loyo dll.

V. ALTERNATIF MENGATASI MASALAH BUDAYA DAN MAKANAN

Masalah budaya dan makanan kita ketahui dapat menyebabkan masalah gizi yang berdampak pada kesehatan tubuh manusia, sehingga perlu secara cermat untuk memberdayakan masyarakat lokal dengan kearifan dan kecerdasan lokal (local wisdom and local genius) disamping terus melaksanakan penyuluhan gizi sebagai alternative mengatasi masalah budaya dan makanan.
Pendekatan yang paling utama adalah melalui perbaikan struktur sosial masyarakat tentang pandangan mereka terhadap bahan makanan walaupun lokal tetapi kaya akan nilai gizi. Langkah-langkah yang ditempuh seperti al ; (1).Perbaikan gizi keluarga dengan melakukan lomba menyiapkan hidangan makanan non beras (kasus budaya Timor),(2). Perbaikan budaya masyarakat dengan pengaruhsutamaan gender (PUG) terutama di tingkat keluarga, (3). Memperluas areal pertanian dengan menanam berbagai komoditi yang mempunyai nilai gizi tinggi sebagai bahan pangan/makanan seperti kedelai (kasus budaya Jawa), (4).Pemberian makanan tambahan yang bernilai gizi bagi anak-anak balita dan orang lanjut usia, (5).Penyuluhan gizi terpadu dan konsultasi gizi bagi masyarakat disamping (6).Melakukan pengkajian/penelitian dan riset untuk melihat pengaruh budaya terhadap makanan itu sendiri dengan berbagai implikasi yang terkait di dalamnya.

VI. PENUTUP

Berdasarkan gambaran naratif (pikiran,ide,gagasan) sebagai tersebut di atas maka dapat direpresentasikan bahwa ; persoalan budaya dan makanan menjadi suatu fenomena masyarakat yang cukup kompleks, maka sebagai upaya strategis yang ditempuh harus memperhatikan secara cermat tentang faktor budaya yang ada dalam komunitas etnis-masyarakat akan pentingnya makanan dan gizi bagi tubuh manusia. Upaya yang bersifat preventif dan promotif perlu dilakukan secara sadar oleh masyarakat itu sendiri dengan dukungan tenaga penyuluh gizi sehingga muncul prilaku manusia yang bermartabat serta paham akan pentingnya gizi dan makanan.
Saran konkrit yang perlu digagas ke depannya adalah ; perlu dilakukan upaya perbaikan prilaku-budaya dan makanan lewat pelayanan gizi dan kesehatan. Peran serta masyarakat dengan mengorganisir kader gizi masyarakat serta adanya dukungan lintas sektor untuk mengadvokasi masyarakat tentang budaya yang bias dan tidak memperhatikan faktor gizi dalam karakter fisik makanan (menu,pola dan bahan dasar). Sedangkan pelajaran yang dapat dipetik dari beragam jenis kuliner makanan akan menjadi daya tarik tersediri dalam pesona budaya itu sebagai ciri khas masyarakat-etnis tertentu atau sebagai obyek wisata kuliner yang dapat dijual kepada pihak luar atau bangsa lain dalam industri pariwisata yang berprospek ekonomik.

Senin, 03 November 2008

Ada Apa dengan Jeruk Keprok Soe ?

Jeruk Keprok SoE (JKS), memang jeruk dengan penampilan yang menarik, rasa yang manis, kalau sudah matang antara kulit dan isinya terpisah sehingga mudah dikupas dan dalam setiap kesempatan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTT selalu mengatakan “JKS merupakan Jeruk keprok terbaik didunia”. Sejak Tahun 1990 pemerintah memberikan perhatian yang sangat besar untuk pengembangan Jeruk Keprok Soe ini, terutama melalui dana APBN Departemen Pertanian yang dikelola oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTT maupun Kantor Wilayah Departemen Pertanian Provinsi NTT (saat itu) melalui Program Pengembangan Usaha Pertanian (PUP), yaitu selain perluasan dan rehabilitasi JKS yang ada di Timor Tengah Selatan (TTS) maupun pengembangan ke Kabupaten Timor Tengah Utara khususnya daerah Eban.

Tapi ternyata sampai dengan tahun 2008 ini kondisi JKS masih saja sama dengan kondisi tahun-tahun sebelum 1990 bahkan ada kecenderungan penurunan kualitas. Dari segi ketersediaan atau produksi masih saja tetap sama yaitu mulai bulan Maret – Agustus setiap tahunnya (mulai berbunga bulan Nopember – Desember). Harganya semakin lama semakin mahal ditingkat penjual eceran untuk kualitas grade A harga 1 kg (3-4 buah) bisa mencapai Rp. 20.000,- Bahkan di Soe khususnya pedagang eceran harga per kumpul (dicampur-campur kualitasnya 3-5 buah ) bisa mencapai harga Rp. 20.000,- itu berarti lebih mahal dari harga di tingkat pedagang eceran di Kupang. Sampai saat ini juga belum pernah saya temukan JKS ada tersedia di Supermarket- Supermarket maupun di Mall yang ada di Kota Kupang. Padahal kebutuhan akan JKS ini begitu tinggi di Kota Kupang namun belum bisa terpenuhi apalagi mau menjawab permintaan dari Luar NTT? Ada apa dengan JKS ini?

Dari penelusuran data yang ada dari berbagai pihak dapat digambarkan kondisi umum petani JKS; Petani JKS masih memelihara dan memasarkan JKS secara tradisional atau sedeharna. Dalam pemeliharaan JKS walaupun selama ini telah banyak pelatihan teknis dan input teknologi namum pemeliharaannya masih hanya sebatas pembersihan dan juga sedikit pengapuran sedangkan untuk pemangkasan bentuk dan pemangkasan produktif sangat kecil prosentase petani yang melakukannya, pemupukan lebih banyak pemberian pupuk kandang sedangkan untuk aplikasi zat perangsang belum pernah ditemukan kecuali kalau ada proyek dari dinas/instansi teknis yang menyangkut penerapan zat perangsang tumbuh. Sedangkan untuk penanaman baru baik itu sebagai pengembangan atau sebagai bagian dari pemeliharaan (regenerasi pohon tua) sangat kecil dan lebih banyak terjadi adalah intervensi dari proyek-proyek dari dinas/instansi teknis, namun hasilnya pertambahan populasinya masih sangat kecil. Masalahnya menurut saya ada banyak faktor yang berpengaruh dan itu perlu pendalaman khusus. Sedangkan pada aspek pemasaran, memang benar-benar masih sederhana, yaitu dengan cara penjualan ijon yaitu JKS yang sudah mulai berbunga mulai di tawar oleh pihak pembeli dan kebiasaan sampai dengan saat ini adalah harga satu pohon hanya berkisar Rp. 150.000,- sampai dengan Rp. 200.000,- dan setelah transaksi maka pohon tersebut menjadi milik pembeli secara penuh sampai dengan produksi JKS tersebut selesai namun pemeliharaan tetap menjadi tanggung jawab petani JKS tersebut. Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTT satu pohon jeruk itu mempunyai kemampuan produksi atau menghasilkan jeruk sebanyak 2.000 - 3.000 buah selama satu musim Pohon umur 10 tahun) sedangkan yang baru pertama kali berbuah produksinya 500 – 1.000 buah/pohon. 3.000 buah ini bila diklasifikasi berdasarkan mutu buah bisa ada empat kelas (A,B,C,D) dan jeruk dengan klasifikasi A harganya Rp.20.000/Kg (3-4 buah) sedangkan harga termurah atau klasifikasi D adalah Rp. 7.000,- sampai dengan Rp. 8.000,- bila kita asumsikan bahwa grade A itu ada 40%, grade B ada 30%, grade C ada 20% dan grade C hanya 10% maka kita bisa menghitung berapa keuntungan dari pedagang perantara dan betapa tidak adilnya harga yang diterima oleh si petani JKS. Ini suatu kondisi ketidakadilan yang dialami oleh petani JKS selama berpuluh-puluh tahun namun tidak mendapat perhatian dan solusi yang tegas dari pemerintah dan ironisnya pemerintah melalui dinas/instansi teknis masih saja tetap berkonsentrasi pada aspek teknis. Ini merupakan salah satu faktor JKS tidak bisa berkembang dan meningkat produksinya. Bagi petani JKS harga Rp. 150.000,-/pohon bukan merupakan sesuatu hasil yang menarik untuk menjadikan jeruk sebagai prioritas utama sumber pendapatan keluarga atau untuk peningkatan kesejahteraannya. Dan ini merupakan demotivasi bagi petani JKS untuk lebih serius dalam pengembangan JKS.

Untuk itu saya ingin menarwarkan suatu solusi agar permasalahan ketidakadilan pendapatan petani JKS dapat teratasi. Pola yang ingin saya tawarkan ini bukan merupakan pola baru tapi adopsi dari pola LUEP (Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan) Gabah/Beras namun penerapannya dimodifikasi. Permasalahan di JKS yang ingin difokus adalah rendahnya harga jual per pohon JKS sedang tambahan teknologi yang perlu diberikan adalah sortasi dan pengemasan karena kebutuhan akan JKS begitu tinggi baik lokal, regional, nasional maupun dunia dan harga yang terjadi dipasaran juga sangat menguntungkan. Sehingga pola penanganannya adalah pemerintah menyediakan dana talangan (modal awal) untuk asosiasi atau kelompok tani atau gabungan kelompok tani untuk membeli dengan menggunakan cara yang sama yaitu pembelian per pohon tapi harga belinya yang ditingkatkan misalnya sekarang harga beli di tingkat petani hanya Rp. 150.000 – Rp. 200.000/pohon maka dengan pola ini jeruk dibeli dengan harga Rp. 500.000/pohon maka itu berarti ada penambahan pendapatan Rp. 300.000 – Rp.350.000/pohon dan angka penambahan ini saya yakin akan menjadi motivasi baru bagi petani untuk lebih memelihara, meningkatakan produksi, dan bahkan mengembangkan tanaman baru baik untuk menggantikan pohon yang sudah tua (kurang produktif lagi) atau juga untuk penambahan jumlah pohon baru. Kenapa saya begitu yakin karena pendapatan yang besar dari JKS ini akan membuat petani menjadikan JKS menjadi prioritas utama dalam pendapatan keluarga untuk peningkatan kesejahteraan keluarganya. Menyangkut teknologi sebenarnya mereka sudah menguasai tapi belum diterapkan karena kecilnya pendapatan mereka. Selanjutnya asosiasi/kelompoktani/gabungan kelompok tani melakukan proses sortasi dan pengemasan untuk lebih meningkatkan daya tarik JKS yang memang sudah terkenal itu dan selanjutnya memasarkan ke berbagai pasar di kupang atau bahkan juga memasarkan ke Surabaya atau Jakarta atau Bali untuk lebih memperkenalkan JKS keluar daerah.

Melalui pola ini pemerintah tidak akan rugi karena dengan sistem ini dana yang disediakan pemerintah tersebut akan dikembalikan pada akhir tahun berjalan (Desember) secara utuh dan kalau perlu ada sedikit bunga namun saya merasa itu tidak terlalu penting (maksud saya bunganya) karena menurut saya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi didaerah yang harus didorong adalah peningkatan pendapatan asli rakyat dibanding peningkatan pendapatan asli daerah. Setiap peningkatan pendapatan dan perubahan kesejahteraan ditingkat masyarakat akan memberikan efek yang besar pada berbagai kegiatan ekonomi lainnya dan juga akan meningkatkan kepatuhan masyarakat untuk membayar kewajiban-kewajibannya antara lain seperti Pajak Bumi dan Bangunan serta kewajiban lainnya.

Pola ini dapat juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga lain yang mempunyai visi untuk pemberdayaan masyarakat khususnya pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk menuju pengembangan agribisnis di NTT namun tidak mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Karena pola ini diawali dengan menggunakan cara yang sederhana yang dipahami oleh masyarakat (penjualan per pohon) tapi harus terus dikembangkan sehingga pada suatu waktu nanti bukan lagi penjualan per pohon tapi sudah penjualan per kilogram, kemudian proses sortasi dan bahkan proses pengemasan juga sudah bisa diserahkan untuk di tangani mereka sehingga nilai tambah dari setiap proses itu bisa mereka nikmati juga. Sedangkan pihak ketiga masih dapat terus mengembangkan perannya sehingga keuntungan juga tetap dinikmatinya untuk mendukung keberlanjutan program dari lembaga tersebut.

Mudah-mudahan tulisan yang sederhana ini bisa menjadi masukan bagi pemerintah dan para pihak lainnya sehingga dapat terlaksana demi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di pedesaan untuk menuju NTT Baru yang lebih sejahtera.