Minggu, 12 Oktober 2008

Mau dibawa kemana Program Jagung NTT

Baru saja saya mengikuti suatu rapat tentang hasil survey dan FGD tentang PKS (Pengetahuan, Ketrampilan dan Sikap) petani di 3 Kabupaten yang difokuskan pada pengembangan agribisnis jagung di NTT. Saya begitu terkejut mendengar laporan dari tim survey di 2 kabupaten bahwa ternyata sapta usaha tani khususnya Jagung masih menjadi persoalan besar di tingkat petani. Lalu saya bertanya, apa manfaatnya selama puluhan tahun kita mendampingi petani di NTT baik melalui dinas teknis kita berikan pelatihan-pelatihan, model-model pengembangan, demplot, demfarm, penyuluh-penyuluh pertanian, gelar teknologi? Benar-benar tidak masuk akal sehat saya.....

Ada sanggahan tentang kondisi ini oleh salah seorang peserta rapat bahwa ini terjadi karena jagung bukan merupakan komoditas usaha mereka, jagung hanya ditanam untuk dikonsumsi saja sehingga dalam penanaman jagung mereka hanya asal tanam saja dan tinggal menunggu kemurahan Tuhan dan bila saatnya panen mereka panen dan disimpan untuk makanan mereka selama satu tahun (kalau cukup).

Tapi bagi saya tetap tidak masuk akal, karena telah begitu banyak investasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah mulai Repelita I sampai dengan saat ini. Proyek-proyek pengembangan jagung, Program Bimas, Kehadiran Penyuluh Pertanian di NTT sejak tahun 1980 an dengan berbagai metode pendekatan, kehadiran Litbang Pertanian melalui Proyek P3NT tahun 1990 sampai dengan saat ini yang lebih dikenal dengan BPTP..... Ini bukan investasi yang sedikit..... tapi itulah kenyataannya. Petani di NTT kalau boleh digeneralisir dari hasil survey di 3 kabupaten menunjukan masih belum bisa melaksanakan usahatani Jagung dengan baik mulai dari persiapan lahan, benih, pemupukan, pemeliharaan, pengendedalian hama penyakit, pengairan, panen dan pasca panen. Ironis memang!!!

Tapi disisi lain saya bersyukur karena ternyata dari hasil survey ini membuktikan bahwa asumsi saya selama ini tentang bagaimana mengembangkan jagung di NTT yaitu bahwa Bila kita (Pemerintah) ingin mengembangkan jagung atau mengandalkan jagung sebagai komoditas unggulan daerah tidak bisa dilaksanakan hanya bertumpu pada usahatani rakyat yang ada tapi kita memang harus membangun estate jagung yang dikelola secara modern dan profesional.

Namun, apabila kita lihat perkembangan terakhir dari upaya pengembangan jagung di NTT, baru-baru ini dimedia massa cetak dan televisi lokal sempat berkembang polemik antara DPRD Prov. NTT dan Pemerintah Prov. NTT tentang alokasi dana untuk pengembangan jagung di NTT melalui anggaran yang dialokasi pada APBD I perubahan tahun 2008. Tapi ..... bukan polemiknya yang ingin saya persoalankan, tapi yang saya ingin komentari adalah ketersediaan dana untuk pengembangan jagung di NTT tahun 2008 untuk mendukung program Pak Gubenur NTT yang baru itu merupakan hal yang baik.... Responsif dan konsisten..... tapi ternyata bila kita cermati lebih lanjut dan lebih dalam lagi ternyata alokasi dana ini akan dilaksanakan lagi secara konvensional yang telah terbukti selama ini tidak bisa memberikan hasil optimal baik itu dari aspek teknis untuk peningkatan produktivitas maupun dari aspek ekonomi untuk mendukung peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani sama sekali tidak berhasil. Cara konvensional itu adalah dengan cara pengadaan benih dan sarpodi lainnya oleh pihak ketiga.

Untuk itu saya ingin memberikan gambaran hasil kerja kita selama ini dengan cara konvensional tersebut yaitu : rata-rata produktivitas jagung di NTT tahun 2007 adalah 2,45 ton/ha padahal potensi produktivitas dari jagung-jagung komposit bisa mencapai 4-6 ton/ha sedangkan untuk jagung hybrida bisa mencapai 10 ton/ha. Pemasaran jagung di NTT hanya sebatas pada pasar lokal sangat sedikit yang bisa dikeluarkan ke luar NTT hanya sekitar 600 ton/tahun dari produksi jagung setiap tahunnya sekitar 550.000 ton/tahun dan bila dihitung untuk kebutuhan konsumsi hanya 380.000 ton/tahun .... sisanya 200 an ribu ton ada dimana? Apalagi pada bulan-bulan September – Februari sangat sulit mencari jagung di pasar-pasar.

Untuk itu saya sangat pesimis bahwa alokasi dana APBD I Perubahan Prov. NTT tahun 2008 akan berhasil bahkan saya sangat yakin bahwa program ini tidak akan berhasil karena jelas hasilnya tidak akan ada perubahan, tidak akan ada jagung yang bisa dipasarkan keluar daerah dalam jumlah besar, tidak akan ada kontinuetas produksi sepanjang tahun dan yang paling terakhir adalah kita tidak bisa menjadi Provinsi produsen dan penjual jagung seperti Provinsi Gorontalo. Kenapa???????? Karena kebiasaan yang sudah rutin terjadi, yaitu tolok ukur keberhasilan proyek itu hanya sebatas pada kertas berita acara serahterima barang dari pihak ketiga kepada satuan kerja dan dilanjutkan dengan berita acara serahterima barang kepada petani/kelompoktani. Pekerjaan sudah 100%. Tanam, pelihara, panen, produktivitas dan pemasaran itu bukan menjadi tolok ukur utama keberhasilan apalagi ditambah dengan kebiasaan pemerataan lokasi pelaksana membuat skala usahanya makin kecil dan tidak ekonomis.

Untuk itu sekali lagi saya tawarkan, untuk dana APBD I perubahan Prov. NTT untuk pengembangan jagung yang sudah ada itu, kita pergunakan dengan pola baru, yaitu untuk membangun estate jagung dengan pola kerjasama antara pemerintah sebagai penyedia modal, pengusaha sebagai penyedia manajemen dan skill usaha, dan masyarakat menyediakan lahan dan pada proses pelaksanaannya masyarkat/petani dapat pula menjadi tenaga kerja di estate tersebut. Pola kerjasama ini akan memberikan keuntungan ganda serta memberikan multiplayer effect yang tinggi. Pola ini juga akan memberikan hasil yang dapat secara cepat dilihat perubahan dari suatu hasil investasi.

Tapi ...... ini hanya saran saja...... persoalan mau di implementasikan atau tidak itu bukan kewenangan saya.

Kita harus merubah pola pikir kita dan cara kerja kita yakni dari cara lama ke cara baru yang lebih sesuai dengan tuntutan dinamika pembangunan dan dinamika ekonomi yang terus berkembang ini sehingga setiap rupiah yang kita keluarkan dan hasil kerja kita akan memberikan hasil yang optimal..... Semoga.

Selasa, 07 Oktober 2008

PROGRAM PIDRA DENGAN LIMA KETAHANAN

SEBUAH REFLEKSI DARI BAWAH
Oleh : Ir. Beny Ulu Meak
Manajer Program PIDRA Timor Tengah Utara

Mungkin, ini adalah salah satu analisa realita dari pelaksana program PIDRA di Kabupaten Timor Tengah Utara yang disadari atau sungguh terasa dan mungkin tidak berpretensi sesuatu yang sangat fokus untuk diperdebatkan lebih lanjut menjadi suatu keraguan. Meski demikian, sebagai pelaksana program PIDRA yang telah berkecimpung dari tahun 2001 s/d saat sekarang dapat menghayati sekaligus memahami hakekat yang sebenarnya dan tersembunyi dari bawah sebagai pandangan praktisioner yang revolusioner tentang pelaksanaan program PIDRA.

Program PIDRA (Participatory Integrated Development In Rainfed Areas) adalah sebuah program pemberdayaan yang difokuskan kepada masyarakat miskin yang bermukim di lahan kering/kritis, tadah hujan dan jarang memperoleh akses dalam pembangunan wilayah pedesaan melalui pendekatan secara partisipatif. Defenisi ini telah menjadi suatu spirit yang kuat akan alur pengembangan program itu sendiri dan dilakukan secara terpadu dengan melibatkan para pemangku kepentingan baik itu unsur Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat,Swasta, Perguruan Tinggi maupun masyarakat sebagai pelaksana utama dari program ini.

Pendekatan program secara “Partisipatif” mengandung pemahaman bahwa masyarakat pelaksana program, diberi kesempatan dan peluang yang seluas-luasnya dari apa yang dimiliki untuk menolong dirinya sendiri yang dimulai dari aspek perencanaan, pelaksanaan,monitoring dan evaluasi. Pendekatan ini bukan berarti dalam proses pemberdayaan- masyarakat (KK miskin) yang menjadi sasaran program di elus-elus atau memanjakan mereka, namun justru dengan model ini mereka secara tidak langsung diberi tantangan dengan apa yang mereka miliki untuk dapat menolong diri mereka secara sendiri keluar dari kesulitan yang tengah meraka hadapi serta menjadikan mereka lebih mandiri. Sedangkan pelaksana program petugas lapangan (PPL/PTL-Pendamping LSM-P) dan pihak luar hanya bertindak sebagai fasilitator. Pokoknya bila proses pemberdayaan itu mampu mengoptimalkan potensi yang ada, maka akan maksimal pula kontribusinya untuk kesejahteraan bersama.

1. Ketahanan Sosial-Masyarakat

Tentu saja kita pahami bahwa jika kita berhadapan dengan masyarakat marginal pasti serba berkekurangan baik secara struktural maupun secara fungsional, akan tetapi program PIDRA dengan model pengembangan masyarakat yang menfokuskan pada kegiatan pengembangan kapasitas dan kemampuan lewat pelatihan penguatan kapasitas kelembagaan (Capacity Building/CB) dan pelatihan teknis (Technical Building) dengan modul-modul pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal mereka oleh para petugas pendamping (PPL/PTL dan Fasilitaor LSM-P) secara terjadwal dan terkoordinasi telah memberikan perubahan kepada mereka akan ketahanan social mereka sebagai suatu modal dasar yang kuat untuk mereka berinteraksi, bekerjasama, berafinitas sekaligus berperan mengatasi kesulitan yang mereka hadapi dengan memanfaatkan segala potensi yang mereka miliki untuk mencapai kemandirian baik di dalam lingkungan keluarga, kelompok ataupun wilayah desa. Mereka menjadi sadar, tahu dan mau untuk berbuat bersama demi mencapai cita-cita yang mereka hadapi yaitu hidup lebih sejahtera (Better living), bertani lebih produktif (Better farming), berusaha lebih menguntungkan (Better business) dan tata kehidupan masyarakat lebih baik (Better community).

2. Ketahanan Ekologis

Ada kesan yang logis bahwa lahan kering/kritis dan tadah hujan pasti terdapat persoalan yang kompleks dan hal ini sebagai salah satu pemicu ketidakberdayaan masyarakat yang bermukim di kawasan tersebut. Program PIDRA dengan sub komponen Pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis masyarakat (Community Based for Natural Resources Management) merupakan salah satu model Pengelolaan Sumber Daya Alam oleh masyarakat lokal berdasarkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan secara arif, bijaksana dan berkelanjutan. Dalam sistem pengelolaan ini peran masyarakat menjadi kunci utama. Masyarakat diberikan kesempatan dan tanggungjawab untuk mendefenisikan kebutuhan, tujuan, aspirasi dan mengambil keputusan untuk mencapai kesejahteraan. Konsekuensinya masyarakat lokal / petani harus tanggap terhadap potensi sumber daya alam pedesaan dan mampu menggali, mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya alam tersebut secara partisipatif dan berkelanjutan. Kondisi ini telah memberikan suatu perubahan kepada masyarakat sasaran program untuk secara jeli memanfaatkan sekaligus melestarikan lingkungan kawasan lahan kering- kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Mikro dengan berbagai inovasi Teknologi Tepat Guna (TTG) di bidang pertanian dan peternakan yang ramah lingkungan dan tidak menggunakan input luar yang tinggi dalam mengelolah kawasan lahan kering tersebut. Beberapa inovasi TTG yang telah dipraktekan di Kabupaten TTU adalah olah lubang, olah jalur, terasering Bingkai A, pembenaman bahan organik, pemberian mulsa, Sumplemet Blok Gula Lontar (SBGL) sebagai pakan suplemet bagi ternak sapi dan sistim kandang lorong untuk penggemukan ternak sapi.

3. Ketahanan Ekonomi

Asumsi yang dikembangkan oleh para pembuat kebijakan (Policy makers) Program PIDRA bahwa masyarakat itu dapat berdaya secara entitas apabila ada perubahan ketahanan ekonominya. Hal ini juga menjadi suatu indikator yang utama bagi sebuah program yang mengkulturkan pada upaya proses pemberdayaan (empowerment) seperti program PIDRA ini. Selama Fase I (Tahun 2001 – 2004) focus program PIDRA diarahkan untuk penguatan kapasitas kemampuan kelembagaan masyarakat dan pada Fase II (Tahun 2005 – 2008 ) focus program diarahkan untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Model yang ditempuh dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah dengan pengembangan usaha mikro, pengelolaan keuangan mikro dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang berbasis kelompok mandiri dan Federasi yang dapat dilegalkan menjadi Koperasi di tingkat desa. Hal ini di Kabupaten TTU telah dimulai dengan kegiatan Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) di tiap kelompok mandiri program, pendampingan ataupun pelatihan teknis bagi pelaku usaha mikro baik secara individu maupun kelompok disamping melakukan inovasi di bidang pemasaran produk unggulan local secara bersama yang dikoordinir oleh Federasi di tingkat desa serta Asosiasi petani di tingkat kawasan wilayah Kecamatan. Berbagai terobosan dan rangkaian proses ini telah memberikan danpak yang cukup signifikan terhadap perubahan tingkat ketahanan ekonomi keluarga dan masyarakat desa pada umumnya karena ada daya multiplayer efecct dari ketahanan social-masyarakat dan ketahanan ekologi-lingkungan. Perubahan tingkat ketahanan ekonomi masyarakat dampingan program PIDRA di Kabupaten TTU pada 17 desa dapat terukur secara fisik dan kuantitas berupa perubahan asset kepemilikan perabot rumah tangga, alat/mesin pertanian yang dimiliki, pembangunan rumah sehat/permanent/semi permanent, kepemilikan lahan usaha tani, nilai kesehatan ibu dan anak, tingkat pendidikan anak dalam keluarga, stok pangan keluarga dan mobilisasi masyarakat di pasar local ataupun pasar kabupaten/pasar antar kabupaten. Pendek kata bahwa telah ada perubahan tingkat ketahanan ekonomi masyarakat dampingan program PIDRA.

4. Ketahanan Pangan


Secara harafiah isu pangan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kondisi masyarakat maupun sumber daya alam – agroekologi ataupun agroekosistim wilayah setempat. Apabila karakter masyarakat terbatas maka sudah pasti ekologi-lingkungan alam akan terganggu dan menurun potensinya dan berakibat pada terganggunya kondisi ketersediaan pangan dengan aksesibilitas masyarakat akan rendah terhadap pemenuhan pangan. Program PIDRA dengan intervensi pengelolaan SDA (bantuan agro-input/alat mesin pertanian, fisik pengelolaan lahan maupun pembangunan fisik prasarana pedesaan (fasilitas air bersih, pasar desa, jalan dusun/desa,r ehabilitasi sarana kesehatan/pendidikan) selain itu dengan pelatihan teknis kemasyarakatan, pengembangan usaha mikro yang berbasis kegiatan on farm, off farm, non farm telah turut memberikan dampak yang besar terhadap perubahan tingkat ketahanan pangan keluarga, wilayah desa maupun mutu kesehatan ibu dan anak dipedesaan disamping akses pangan masyarakat meningkat walaupun terjadi kekurangan stok pangan dalam setahunnya karena daya beli masyarakat tinggi sebagai akibat dari kegiatan Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) di setiap kelompok mandiri program dan tingkat pendapatan yang berubah selama sebulannya karena akibat dari pengelolaan usaha mikro maupun fasilitas jalan, pasar desa yang semakin baik. Apabila dibandingkan sebelum adanya pendampingan dari program PIDRA di Kabupaten TTU pada 17 Desa yang ada, sering terjadi gangguan ketahanan pangan tetapi dengan adanya pendampingan program PIDRA dengan intervensi yang telah disebutkan di atas sekarang sudah tidak lagi ada gangguan ketahanan pangan yang serius bahkan masyarakat sudah meningkat status gizinya dan mutu kesehatan ibu dan anak.

5. Ketahanan Aparatur –Pelaksana

Retorika revolusioner pelaksanaan program PIDRA praktis harus membutuhkan para pelaksana program yang handal, tanggap dan mampu mengoperasionalkan komponen ataupun kegiatan program secara berdaya guna dan berhasil guna bagi Kepala Keluarga misikn yang nota bene adalah sasaran program di lapangan. Kondisi ini lewat komponen program –pengembangan kelembagaan dan dukungan manajemen telah menfasilitasi para pelaksana/pengelola program baik di tingkat manajemen kabupaten ataupun petugas di lapangan (PPL/PTL, Fasilitator LSM-P), Komisi Pelaksana Program lewat berbagai pelatihan, Training of Trainers (ToT), Studi banding, work shop, pertemuan koordinasi ataupun pertemuan berkala di tingkat kabupaten, propinsi maupun nasional telah memberikan suatu perubahan bagi ketahanan aparatur-pelaksana program dari aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap/komitment yang tinggi untuk melakukan pelayanan operasional program di tingkat lapangan kepada kelembagaan masyarakat dampingan secara baik dan berdaya guna. Hal lain lagi yang sangat berpengaruh adalah tingkat hubungan kerjasama/kemitraan, koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program PIDRA dengan program lain yang sejenis dapat berjalan secara terpadu baik itu yang dialokasikan oleh Pemerintah, BUMD, Bank, Perguruan Tinggi, LSM maupun pihak swasta. Pokoknya Kena …………….. Deh !!!!