Baru saja saya mengikuti suatu rapat tentang hasil survey dan FGD tentang PKS (Pengetahuan, Ketrampilan dan Sikap) petani di 3 Kabupaten yang difokuskan pada pengembangan agribisnis jagung di NTT. Saya begitu terkejut mendengar laporan dari tim survey di 2 kabupaten bahwa ternyata sapta usaha tani khususnya Jagung masih menjadi persoalan besar di tingkat petani. Lalu saya bertanya, apa manfaatnya selama puluhan tahun kita mendampingi petani di NTT baik melalui dinas teknis kita berikan pelatihan-pelatihan, model-model pengembangan, demplot, demfarm, penyuluh-penyuluh pertanian, gelar teknologi? Benar-benar tidak masuk akal sehat saya.....
Ada sanggahan tentang kondisi ini oleh salah seorang peserta rapat bahwa ini terjadi karena jagung bukan merupakan komoditas usaha mereka, jagung hanya ditanam untuk dikonsumsi saja sehingga dalam penanaman jagung mereka hanya asal tanam saja dan tinggal menunggu kemurahan Tuhan dan bila saatnya panen mereka panen dan disimpan untuk makanan mereka selama satu tahun (kalau cukup).
Tapi bagi saya tetap tidak masuk akal, karena telah begitu banyak investasi yang telah dilakukan oleh Pemerintah mulai Repelita I sampai dengan saat ini. Proyek-proyek pengembangan jagung, Program Bimas, Kehadiran Penyuluh Pertanian di NTT sejak tahun 1980 an dengan berbagai metode pendekatan, kehadiran Litbang Pertanian melalui Proyek P3NT tahun 1990 sampai dengan saat ini yang lebih dikenal dengan BPTP..... Ini bukan investasi yang sedikit..... tapi itulah kenyataannya. Petani di NTT kalau boleh digeneralisir dari hasil survey di 3 kabupaten menunjukan masih belum bisa melaksanakan usahatani Jagung dengan baik mulai dari persiapan lahan, benih, pemupukan, pemeliharaan, pengendedalian hama penyakit, pengairan, panen dan pasca panen. Ironis memang!!!
Tapi disisi lain saya bersyukur karena ternyata dari hasil survey ini membuktikan bahwa asumsi saya selama ini tentang bagaimana mengembangkan jagung di NTT yaitu bahwa Bila kita (Pemerintah) ingin mengembangkan jagung atau mengandalkan jagung sebagai komoditas unggulan daerah tidak bisa dilaksanakan hanya bertumpu pada usahatani rakyat yang ada tapi kita memang harus membangun estate jagung yang dikelola secara modern dan profesional.
Namun, apabila kita lihat perkembangan terakhir dari upaya pengembangan jagung di NTT, baru-baru ini dimedia massa cetak dan televisi lokal sempat berkembang polemik antara DPRD Prov. NTT dan Pemerintah Prov. NTT tentang alokasi dana untuk pengembangan jagung di NTT melalui anggaran yang dialokasi pada APBD I perubahan tahun 2008. Tapi ..... bukan polemiknya yang ingin saya persoalankan, tapi yang saya ingin komentari adalah ketersediaan dana untuk pengembangan jagung di NTT tahun 2008 untuk mendukung program Pak Gubenur NTT yang baru itu merupakan hal yang baik.... Responsif dan konsisten..... tapi ternyata bila kita cermati lebih lanjut dan lebih dalam lagi ternyata alokasi dana ini akan dilaksanakan lagi secara konvensional yang telah terbukti selama ini tidak bisa memberikan hasil optimal baik itu dari aspek teknis untuk peningkatan produktivitas maupun dari aspek ekonomi untuk mendukung peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani sama sekali tidak berhasil. Cara konvensional itu adalah dengan cara pengadaan benih dan sarpodi lainnya oleh pihak ketiga.
Untuk itu saya ingin memberikan gambaran hasil kerja kita selama ini dengan cara konvensional tersebut yaitu : rata-rata produktivitas jagung di NTT tahun 2007 adalah 2,45 ton/ha padahal potensi produktivitas dari jagung-jagung komposit bisa mencapai 4-6 ton/ha sedangkan untuk jagung hybrida bisa mencapai 10 ton/ha. Pemasaran jagung di NTT hanya sebatas pada pasar lokal sangat sedikit yang bisa dikeluarkan ke luar NTT hanya sekitar 600 ton/tahun dari produksi jagung setiap tahunnya sekitar 550.000 ton/tahun dan bila dihitung untuk kebutuhan konsumsi hanya 380.000 ton/tahun .... sisanya 200 an ribu ton ada dimana? Apalagi pada bulan-bulan September – Februari sangat sulit mencari jagung di pasar-pasar.
Untuk itu saya sangat pesimis bahwa alokasi dana APBD I Perubahan Prov. NTT tahun 2008 akan berhasil bahkan saya sangat yakin bahwa program ini tidak akan berhasil karena jelas hasilnya tidak akan ada perubahan, tidak akan ada jagung yang bisa dipasarkan keluar daerah dalam jumlah besar, tidak akan ada kontinuetas produksi sepanjang tahun dan yang paling terakhir adalah kita tidak bisa menjadi Provinsi produsen dan penjual jagung seperti Provinsi Gorontalo. Kenapa???????? Karena kebiasaan yang sudah rutin terjadi, yaitu tolok ukur keberhasilan proyek itu hanya sebatas pada kertas berita acara serahterima barang dari pihak ketiga kepada satuan kerja dan dilanjutkan dengan berita acara serahterima barang kepada petani/kelompoktani. Pekerjaan sudah 100%. Tanam, pelihara, panen, produktivitas dan pemasaran itu bukan menjadi tolok ukur utama keberhasilan apalagi ditambah dengan kebiasaan pemerataan lokasi pelaksana membuat skala usahanya makin kecil dan tidak ekonomis.
Untuk itu sekali lagi saya tawarkan, untuk dana APBD I perubahan Prov. NTT untuk pengembangan jagung yang sudah ada itu, kita pergunakan dengan pola baru, yaitu untuk membangun estate jagung dengan pola kerjasama antara pemerintah sebagai penyedia modal, pengusaha sebagai penyedia manajemen dan skill usaha, dan masyarakat menyediakan lahan dan pada proses pelaksanaannya masyarkat/petani dapat pula menjadi tenaga kerja di estate tersebut. Pola kerjasama ini akan memberikan keuntungan ganda serta memberikan multiplayer effect yang tinggi. Pola ini juga akan memberikan hasil yang dapat secara cepat dilihat perubahan dari suatu hasil investasi.
Tapi ...... ini hanya saran saja...... persoalan mau di implementasikan atau tidak itu bukan kewenangan saya.
Kita harus merubah pola pikir kita dan cara kerja kita yakni dari cara lama ke cara baru yang lebih sesuai dengan tuntutan dinamika pembangunan dan dinamika ekonomi yang terus berkembang ini sehingga setiap rupiah yang kita keluarkan dan hasil kerja kita akan memberikan hasil yang optimal..... Semoga.