Rasanya sudah terlalu lama saya meninggalkan blog tercinta ini oleh karena berbagai kesibukan pekerjaan saya. Banyak hal yang ada dalam mimpi saya, tapi belum sempat dituangkan dalam tulisan. Sekarang saya coba menuangkan satu mimpi saya tentang model pembangunan NTT yang lebih kepada tata kelola keuangan daerah. Apakah judul diatas tepat atau tidak bila dibandingkan dengan isi tulisan ini saya mohon maaf.....
Nusa Tenggara Timur (NTT) lebih dikenal sebagai daerah miskin karena PAD nya masih sangat rendah dan untuk membangun NTT masih sangat tergantung dana dari luar (DAU, DEKONSENTRASI, TUGAS PERBANTUAN, DAK dan sebutan lainnya). Disamping itu perekonomian NTT masih sangat tergantung pada investasi pemerintah dan ini terlihat jelas sekali pada saat bulan Januari - Maret setiap tahunnya aktivitas perekonomian NTT lesu karena pada saat itu dana pemerintah belum cair atau masih dalam tahapan tender/proses pengadaan dan persiapan administrasi lainnya. Itulah kondisi kita dan itulah yang kita punya.
Disisi lain, sepertinya kita ("Pemerintah"??) kurang menyadari itu atau apalah istilahnya tentang kondisi ini. Kenapa? Kalau kita lihat investasi di NTT sangat minim apalagi di bidang pertanian kalau dibandingkan dengan dana yang sudah dikeluarkan untuk promosi potensi NTT ke seluruh Indonesia dan berbagai penjuru dunia kelihatannya tidak sebanding dengan perkembangan usaha pertanian di NTT. Dalam satu tulisan/pikiran saya terdahulu pernah dibahas dan saya berpikir bahwa seharusnya Pemerintah dengan dana yang ada mustinya diinvestasikan untuk membangun suatu usaha pertanian yang berskala menengah sampai besar untuk membuktikan bahwa memang potensi itu ada dan benar benar bisa memberikan hasil yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat NTT. Saya percaya bahwa itu akan menjadi motivasi untuk tumbuhnya usaha-usaha pertanian lain di kabupaten/kota se NTT.
Begitu pula dalam pemanfaatan APBD Provinsi NTT dana yang ada lebih diarahkan untuk membangun khususnya di bidang pertanian, setiap tahun tidak kurang puluhan milyard rupiah yang dianggarkan untuk berbagai kegiatan pertanian (Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan) tapi bila dibandingkan dengan hasilnya seperti peningkatan produksi ataupun peningkatan produktivitas atau juga perluasan areal tanam atau peningkatan populasi kayaknya tidak sebanding (bisa dilihat dengan jelas pada angka angka statistik pertanian NTT). Barangkali kalau dihitung secara matematis dari dana perluasan areal atau peningkatan populasi sejak tahun 1980 an sampai sekarang laut pun sudah tertanam pohon jeruk, jambu mente, kopi, atau jagung, padi dan lain-lain. Selain itu karena pola bantuan pemerintah yang sekarang dikenal dengan istilah Bansos (Bantuan Sosial) membuat masyarakat NTT menjadi sangat tergantung dengan pemerintah. Pemerintah seperti sinterklass atau hartawan yang selalu membagi hartanya kepada masyarakat tapi masyarakatnya tidak bertambah sejahtera bahkan menjadi orang-orang yang marah karena namanya tidak terdaftar dalam Bantuan Beras Miskin (Raskin) ataupun Bantuan Langsung Tunai (BLT). Point utama yang ingin saya bahas dalam tulisan/pikiran ini adalah Kita NTT mengaku miskin tapi tata kelola keuangan daerah kita seperti hartawan/sinterklass.
Mustinya (menurut saya), tata kelola keuangan daerah kita harus diperhitungkan setiap pengeluaran per rupiah dengan hasilnya. Untuk sektor pertanian misalnya, dana yang dikeluarkan untuk mengembangkan jagung harus diperhitungkan dana tersebut dapat mengembangkan berapa luas areal jagung (benih, saprodi dll), berapa produktivitasnya sehingga akan menghasil produksi jagung berapa banyak. Diatas kertas ini bisa dihitung tapi kenyataan nya di lapangan bagaimana? Kalau hal ini saja tidak menjadi perhatian serius pemerintah maka jelas setiap tahun kita hanya menghabiskan dana APBD kita.
Dalam pikiran saya, mestinya pemerintah menargetkan dari seluruh dana APBD setiap tahunnya berapa persen yang harus kembali (diluar pendapatan). Contoh, Bila pemerintah menganggarkan untuk pengembangan jagung Rp. 10 Milyard maka minimal 90% dana tersebut harus kembali. Mustahil????? Tidak. kalau pendekatannya bukan bagi-bagi benih dan saprodi kepada Kelompoktani (cara lama) tapi dengan pendekatan baru, yaitu melalui pengembangan agribisnis yang sebenar benarnya (bukan hanya nama program). Bila Rp. 10 Milyard tersebut digunakan dengan cara, sewa lahan petani (Dataran Oesao misalnya) kemudian di dataran tersebut pada musim tanam kedua ditanami jagung. Maka kita dapat melihat secara jelas bukti bahwa pada luasan tertentu ada jagung yang tertanam, luas tanamnya harus benar benar ekonomis. Pada waktu jagung siap di panen dapat mengundang para pembeli untuk penawaran harga. Kemudian setelah disepakati harga dan jagung tersebut di panen dapat langsung di kapalkan keluar NTT oleh pembelinya. Cara ini sangat menguntungkan baik untuk petani, pedagang, pemerintah maupun perekonomian NTT. Kenapa? (1). Biaya produksi jagung dapat ditekan karena lahan yang digunakan pada musim tanam kedua berarti telah diolah sebelumnya, masih ada residu pupuk yang belum terpakai sehingga pemupukannya bisa setengah rekomendasi, air tersedia cukup, (2) petani bisa mendapatkan 2 (dua) pendapatan sekaligus yaitu pendapatan dari sewa lahannya dan sekaligus bisa mendapatkan pendapatan sebagai tenaga kerja, (3) Lahan kompak dan transportasi lancar, (4) Keberhasilan program pemerintah dapat terlihat secara langsung, (5) Motivasi bagi para pengusaha untuk mengembangkan usaha sejenis, (6) Akan tercipta pasar sarana produksi baru sehingga terjadi persaingan harga dari produsen sarana produksi artinya saprodi menjadi tersedia dan murah dan (7) Akan tumbuh usaha jasa pendukung lainnya. Disamping itu jelas sekali bahwa Rp. 10 Milyard tersebut akan kembali karena dari penjualan jagung tersebut dikurangi biaya produksi dan biaya operasional lainnya dapat langsung disetor kembali ke rekening pemerintah provinsi. Hitungannya, bila hanya kembali Rp. 8 Milyard saja, menurut saya sudah untung karena biasanya dana untuk kegiatan sejenis tidak kembali Rp. 1 pun apalagi kalau diperhitungkan dengan 7 (tujuh) keuntungan tersebut diatas...... wah menguntungkan sekali.
Seandainya program pemerintah dengan pendekatan seperti tersebut diatas dapat dilakukan pada beberapa kegiatan pembangunan maka dana APBD tidak habis dipakai tapi ada dana APBD yang dikembalikan setiap tahunnya sehingga kalau diprogram sekitar Rp. 100 - 200 Milyard dengan pola tersebut maka setiap tahunnya ada Rp. 100 - 200 Milyard yang dapat digunakan kembali untuk program pembangunan di tahun yang akan datang. Bayangkan 5 (lima) tahun yang akan datang kita akan mendapatkan Rp. 1.000 milyard/ Rp. 1 Trilyun.
Bandingkan dengan pola lama, 1 (satu) Dinas Teknis diberikan anggaran pembangunan selama 1 (satu) tahun sebesar Rp. 30 Milyard dan target pendapatan dari Dinas Teknis tersebut hanya Rp. 130 juta. Manakah yang menguntungkan?
Tentu pola ini tidak bisa digeneralisir tapi perlu dipetakan (1) program dan kegiatan yang sifatnya Bantuan Sosial murni khusus untuk membantu masyarakat sangat miskin yang tidak berdaya secara ekonomis, (2) program dan kegiatan yang sifatnya bantuan pinjaman lunak untuk membantu masyarakat yang mulai tumbuh usaha ekonomis produktifnya dan (3) program dan kegiatan yang sifatnya pinjaman dengan bunga tertentu untuk masyarakat yang usahanya benar-benar sudah tumbuh dengan baik namun perlu untuk penguatan permodalan dalam rangka peningkatan skala usaha ataupun jaminan untuk usaha rintisan.
Bila kategori ke (3) telah berkembang maka dapat diambil alih pelayanan permodalannya oleh perbankan.
Dengan demikian melalui pola pengelolaan keuangan daerah ini maka secara bertahap APBD NTT akan terus meningkat, rakyat semakin sejahtera dan perekonomian daerah NTT akan terus tumbuh dan berkembang dengan pesat.
Ini hanya suatu ide dalam mimpi saya. Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa yang sudah dilaksanakan sekarang ini salah tapi apabila kita mau mencoba cara lain untuk menjadi pembanding rasanya tidak salah juga.
Akhirnya saya mohon maaf apabila tulisan saya ini menyinggung perasaan para pembaca dan juga begitu lemah pola pikirnya serta tata penulisan yang sederhana. Ini hanya suatu tulisan untuk konsumsi saya pribadi bahwa ide/mimpi ini pernah ada dalam hidup saya. Terima kasih dan Tuhan memberkati.
Nusa Tenggara Timur (NTT) lebih dikenal sebagai daerah miskin karena PAD nya masih sangat rendah dan untuk membangun NTT masih sangat tergantung dana dari luar (DAU, DEKONSENTRASI, TUGAS PERBANTUAN, DAK dan sebutan lainnya). Disamping itu perekonomian NTT masih sangat tergantung pada investasi pemerintah dan ini terlihat jelas sekali pada saat bulan Januari - Maret setiap tahunnya aktivitas perekonomian NTT lesu karena pada saat itu dana pemerintah belum cair atau masih dalam tahapan tender/proses pengadaan dan persiapan administrasi lainnya. Itulah kondisi kita dan itulah yang kita punya.
Disisi lain, sepertinya kita ("Pemerintah"??) kurang menyadari itu atau apalah istilahnya tentang kondisi ini. Kenapa? Kalau kita lihat investasi di NTT sangat minim apalagi di bidang pertanian kalau dibandingkan dengan dana yang sudah dikeluarkan untuk promosi potensi NTT ke seluruh Indonesia dan berbagai penjuru dunia kelihatannya tidak sebanding dengan perkembangan usaha pertanian di NTT. Dalam satu tulisan/pikiran saya terdahulu pernah dibahas dan saya berpikir bahwa seharusnya Pemerintah dengan dana yang ada mustinya diinvestasikan untuk membangun suatu usaha pertanian yang berskala menengah sampai besar untuk membuktikan bahwa memang potensi itu ada dan benar benar bisa memberikan hasil yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat NTT. Saya percaya bahwa itu akan menjadi motivasi untuk tumbuhnya usaha-usaha pertanian lain di kabupaten/kota se NTT.
Begitu pula dalam pemanfaatan APBD Provinsi NTT dana yang ada lebih diarahkan untuk membangun khususnya di bidang pertanian, setiap tahun tidak kurang puluhan milyard rupiah yang dianggarkan untuk berbagai kegiatan pertanian (Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Peternakan) tapi bila dibandingkan dengan hasilnya seperti peningkatan produksi ataupun peningkatan produktivitas atau juga perluasan areal tanam atau peningkatan populasi kayaknya tidak sebanding (bisa dilihat dengan jelas pada angka angka statistik pertanian NTT). Barangkali kalau dihitung secara matematis dari dana perluasan areal atau peningkatan populasi sejak tahun 1980 an sampai sekarang laut pun sudah tertanam pohon jeruk, jambu mente, kopi, atau jagung, padi dan lain-lain. Selain itu karena pola bantuan pemerintah yang sekarang dikenal dengan istilah Bansos (Bantuan Sosial) membuat masyarakat NTT menjadi sangat tergantung dengan pemerintah. Pemerintah seperti sinterklass atau hartawan yang selalu membagi hartanya kepada masyarakat tapi masyarakatnya tidak bertambah sejahtera bahkan menjadi orang-orang yang marah karena namanya tidak terdaftar dalam Bantuan Beras Miskin (Raskin) ataupun Bantuan Langsung Tunai (BLT). Point utama yang ingin saya bahas dalam tulisan/pikiran ini adalah Kita NTT mengaku miskin tapi tata kelola keuangan daerah kita seperti hartawan/sinterklass.
Mustinya (menurut saya), tata kelola keuangan daerah kita harus diperhitungkan setiap pengeluaran per rupiah dengan hasilnya. Untuk sektor pertanian misalnya, dana yang dikeluarkan untuk mengembangkan jagung harus diperhitungkan dana tersebut dapat mengembangkan berapa luas areal jagung (benih, saprodi dll), berapa produktivitasnya sehingga akan menghasil produksi jagung berapa banyak. Diatas kertas ini bisa dihitung tapi kenyataan nya di lapangan bagaimana? Kalau hal ini saja tidak menjadi perhatian serius pemerintah maka jelas setiap tahun kita hanya menghabiskan dana APBD kita.
Dalam pikiran saya, mestinya pemerintah menargetkan dari seluruh dana APBD setiap tahunnya berapa persen yang harus kembali (diluar pendapatan). Contoh, Bila pemerintah menganggarkan untuk pengembangan jagung Rp. 10 Milyard maka minimal 90% dana tersebut harus kembali. Mustahil????? Tidak. kalau pendekatannya bukan bagi-bagi benih dan saprodi kepada Kelompoktani (cara lama) tapi dengan pendekatan baru, yaitu melalui pengembangan agribisnis yang sebenar benarnya (bukan hanya nama program). Bila Rp. 10 Milyard tersebut digunakan dengan cara, sewa lahan petani (Dataran Oesao misalnya) kemudian di dataran tersebut pada musim tanam kedua ditanami jagung. Maka kita dapat melihat secara jelas bukti bahwa pada luasan tertentu ada jagung yang tertanam, luas tanamnya harus benar benar ekonomis. Pada waktu jagung siap di panen dapat mengundang para pembeli untuk penawaran harga. Kemudian setelah disepakati harga dan jagung tersebut di panen dapat langsung di kapalkan keluar NTT oleh pembelinya. Cara ini sangat menguntungkan baik untuk petani, pedagang, pemerintah maupun perekonomian NTT. Kenapa? (1). Biaya produksi jagung dapat ditekan karena lahan yang digunakan pada musim tanam kedua berarti telah diolah sebelumnya, masih ada residu pupuk yang belum terpakai sehingga pemupukannya bisa setengah rekomendasi, air tersedia cukup, (2) petani bisa mendapatkan 2 (dua) pendapatan sekaligus yaitu pendapatan dari sewa lahannya dan sekaligus bisa mendapatkan pendapatan sebagai tenaga kerja, (3) Lahan kompak dan transportasi lancar, (4) Keberhasilan program pemerintah dapat terlihat secara langsung, (5) Motivasi bagi para pengusaha untuk mengembangkan usaha sejenis, (6) Akan tercipta pasar sarana produksi baru sehingga terjadi persaingan harga dari produsen sarana produksi artinya saprodi menjadi tersedia dan murah dan (7) Akan tumbuh usaha jasa pendukung lainnya. Disamping itu jelas sekali bahwa Rp. 10 Milyard tersebut akan kembali karena dari penjualan jagung tersebut dikurangi biaya produksi dan biaya operasional lainnya dapat langsung disetor kembali ke rekening pemerintah provinsi. Hitungannya, bila hanya kembali Rp. 8 Milyard saja, menurut saya sudah untung karena biasanya dana untuk kegiatan sejenis tidak kembali Rp. 1 pun apalagi kalau diperhitungkan dengan 7 (tujuh) keuntungan tersebut diatas...... wah menguntungkan sekali.
Seandainya program pemerintah dengan pendekatan seperti tersebut diatas dapat dilakukan pada beberapa kegiatan pembangunan maka dana APBD tidak habis dipakai tapi ada dana APBD yang dikembalikan setiap tahunnya sehingga kalau diprogram sekitar Rp. 100 - 200 Milyard dengan pola tersebut maka setiap tahunnya ada Rp. 100 - 200 Milyard yang dapat digunakan kembali untuk program pembangunan di tahun yang akan datang. Bayangkan 5 (lima) tahun yang akan datang kita akan mendapatkan Rp. 1.000 milyard/ Rp. 1 Trilyun.
Bandingkan dengan pola lama, 1 (satu) Dinas Teknis diberikan anggaran pembangunan selama 1 (satu) tahun sebesar Rp. 30 Milyard dan target pendapatan dari Dinas Teknis tersebut hanya Rp. 130 juta. Manakah yang menguntungkan?
Tentu pola ini tidak bisa digeneralisir tapi perlu dipetakan (1) program dan kegiatan yang sifatnya Bantuan Sosial murni khusus untuk membantu masyarakat sangat miskin yang tidak berdaya secara ekonomis, (2) program dan kegiatan yang sifatnya bantuan pinjaman lunak untuk membantu masyarakat yang mulai tumbuh usaha ekonomis produktifnya dan (3) program dan kegiatan yang sifatnya pinjaman dengan bunga tertentu untuk masyarakat yang usahanya benar-benar sudah tumbuh dengan baik namun perlu untuk penguatan permodalan dalam rangka peningkatan skala usaha ataupun jaminan untuk usaha rintisan.
Bila kategori ke (3) telah berkembang maka dapat diambil alih pelayanan permodalannya oleh perbankan.
Dengan demikian melalui pola pengelolaan keuangan daerah ini maka secara bertahap APBD NTT akan terus meningkat, rakyat semakin sejahtera dan perekonomian daerah NTT akan terus tumbuh dan berkembang dengan pesat.
Ini hanya suatu ide dalam mimpi saya. Tidak ada maksud untuk mengatakan bahwa yang sudah dilaksanakan sekarang ini salah tapi apabila kita mau mencoba cara lain untuk menjadi pembanding rasanya tidak salah juga.
Akhirnya saya mohon maaf apabila tulisan saya ini menyinggung perasaan para pembaca dan juga begitu lemah pola pikirnya serta tata penulisan yang sederhana. Ini hanya suatu tulisan untuk konsumsi saya pribadi bahwa ide/mimpi ini pernah ada dalam hidup saya. Terima kasih dan Tuhan memberkati.